Kamis, 26 Maret 2015

[FANFICTION] Lucid Dream -Chapt. 4-



Title : Lucid Dream
Author : Park Su Jan
Genre : Fantasy
Cast(s) : B.A.P (Youngjae, Daehyun, Zelo) & OC
Chapter 4

Note :




*Yoo Youngjae's POV*

Apa kau ingin tahu seperti apa rasanya sensasi memasuki mimpi seseorang? Meskipun ini baru pertama kalinya aku memasuki mimpi seseorang, tapi aku bisa memastikan sensasinya jauh berbeda dibanding ketika aku mengelola mimpiku sendiri.

Begitu mulai memejamkan mata dan merapal mantra, aku merasa jiwaku tersedot ke dalam sebuah terowongan panjang yang di sekelilingnya berkerlap-kerlip seolah aku sedang melayang di ruang angkasa. Tubuhku mati rasa dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut buku yang kubaca, banyak para Lucidian yang tidak mampu melewati fase ini sehingga mereka terjebak, mereka akan mengalami lumpuh pada anggota tubuh seperti yang dialami kakakku, yang paling fatal adalah jiwa mereka menghilang sehingga dalam kehidupan nyata, mereka akan seperti mati suri.

Sedikit lagi. Aku yakin aku bisa melewati fase ini, sejauh ini aku sudah bertahan. Aku pasti bisa bertahan.

Tidak butuh waktu lama, aku akhirnya melihat sebuah cahaya biru yang menyambutku di depan terowongan itu. Cahaya itu terang tetapi anehnya tidak menyilaukan.

Aku melewati cahaya itu dengan mudah. Lalu aku sadar aku sudah berada di dalam mimpi Jun Hee. Ternyata seperti ini rasanya berada di alam mimpi seseorang. Tapi kenapa keadaan di sini sangat gelap dan sepi? Apa ... Jun Hee sedang bermimpi buruk?

Grusakk!!!

Terdengar bunyi sesuatu di bawah jembatan di bawahku. Karena penasaran, aku berjalan ke sana untuk memeriksanya. Betapa kagetnya aku melihat Jun Hee terjebak di suatu tempat yang seperti lumpur hidup dengan kedua kakinya sudah terhisap hampir mencapai lututnya. Dia terlihat sangat panik dan berusaha melepaskan diri dari tempat itu.

Seseorang berjalan ke arahnya. Seseorang bertubuh jangkung, memakai jubah hitam dan bersepatu bot dengan seuntai rantai di tangannya. Melihat gerak-geriknya, aku yakin orang itu ingin menangkap Jun Hee.

Tidak. Tidak. Sekalipun ini hanya mimpi Jun Hee, aku tidak ingin Jun Hee mengalami mimpi buruk seperti ini.

"Jangan diam saja. Cepat lari!" seruku. Walaupun sudah yakin Jun Hee tidak akan bisa mendengarnya. Aku baru saja mencoba mencapai tingkat Meganic Dreamer seperti yang dilakukan Youngwon hyung, jadi aku hanya bisa menonton dari sini.

Tapi tanpa kusangka, sekarang Jun Hee mengedarkan pandangannya ke sekeliling seolah-olah mencari asal suaraku. Aku sempat kaget. Ini fenomena langka bagi para Meganic Dreamer. Begitu yakin Jun Hee bisa mendengarku, aku kembali berseru.

"Kalau tidak bisa lari sebaiknya kau cepat bangun. Di sini berbahaya!"

"Aku ingin lari, tapi aku tidak bisa!" aku bisa mendengar Jun Hee menjawab seruanku.

"Kalau begitu, biar aku saja yang membangunkanmu!" tegasku lalu secepat mungkin berlari menyelamatkan Jun Hee.

AKu berusaha menarik kedua lengannya yang ternyata tidak sulit. Aku heran kenapa Jun Hee bilang dia tidak bisa keluar dari sana. Kutarik Jun Hee ke dalam pelukanku, aku bisa merasakan Jun Hee gemetar ketakutan.

"Dasar bodoh!" kataku padanya. Yang benar saja! Ini kan hanya mimpi!

Tunggu dulu! Kalau Jun Hee bisa mendengar dan aku bahkan bisa menyentuhnya, bukankah itu berarti aku memasuki tingkatan Giganic Dreamer seperti kedua orang tuaku? Apakah itu artinya aku melewati tingkatan Meganic Dreamer? Bagaimana bisa?

Tiba-tiba aku menyadari sosok jangkung itu masih berdiri di seberang sungai lumpur di depan kami. Orang itu tidak melakukan apa-apa. Dia hanya menatap tajam ke arahku dan menyeringai. Detik kemudian aku sadar, meskipun keadaan sekitar sangat gelap, tapi aku yakin aku bisa melihat seringainya. Seringai itu mirip dengan senyuman aneh yang ditunjukkan oleh orang yang sama. Sosok yang juga bertubuh jangkung dan menyapaku dengan ramah.

Choi Jun Hong!

Apa maksud semua ini?

***

Kriinggg!!!

Bunyi alarm ponsel membawaku kembali ke dunia nyata. Orang-orang yang ada di sekelilingku menoleh dan memasang ekspresi yang menunjukkan mereka terganggu. Buru-buru kumatikan alarmku dan berkali-kali menundukkan kepala meminta maaf.

Aku menatap layar lebar di depanku dan mendadak paham kenapa orang-orang memasang ekspresi seperti terganggu itu. Sekarang film tu sedang menampilkan adegan melankolis. Si pemeran utama wanita tampak sedang berjuang melawan penyakitnya dan terbaring di sebuah ranjang rumah sakit, didampingi oleh si pemeran utama pria yang duduk di sampingnya sambil mengelus rambut wanita itu dan menangis tersedu-sedu. Bunyi alarm di ponselku tentu saja merusak konsentrasi mereka.

"Youngjae!" tiba-tiba aku mendengar Jun Hee berbisik memanggilku. Ternyata dia juga sudah bangun. Aku menoleh padanya. Karena gelap, aku tidak bisa melihat matanya. Lagipula, sekarang dia menundukkan kepalanya.

"Wae?" tanyaku.

"Bisakah kau lepaskan genggamanmu? Tanganku berkeringat."

Aku langsung tersadar kalau sedari tadi aku terus menggenggam tangan kiri Jun Hee. Segera kulepaskan genggamanku, lalu Jun Hee mengelap tangannya yang berkeringat dingin dengan sapu tangannya.

"Tanganku mudah sekali berkeringat, apalagi setelah bermimpi buruk." keluhnya.

"Jadi kau sama sekali tidak menonton film ini?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Ngg... aku tadi tertidur cukup lama. Bagaimana? Apa filmnya bagus?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tertidur."

"Maaf... aku mengajakmu nonton film ini tapi ternyata filmnya membosankan."

"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa mengantuk saat melihatmu tertidur. Aku sengaja ingin tidur, bahkan aku sengaja mengatur alarmku agar berbunyi setelah dua jam."

"Hajiman (tapi)... Youngjae..." Jun Hee berkata ragu-ragu.

"Ada apa?"

"Tidak. Tidak ada apa-apa."

Sial. Pasti ada yang disembunyikannya. Aku tidak bisa membaca pikirannya kalau dia terus menunduk seperti itu.

"Youngjae-ya," panggilnya lagi. aku memasang telingaku. Menunggu kalimat selanjutnya. "Terima kasih."

"Huh? E-eo (y-ya)." sahutku walaupun bingung untuk apa dia berterima kasih.

***

*Choi Jun Hee's POV*

Youngjae mengajakku menikmati es krim di sebuah kedai. Aku senang sekali hari ini. Walaupun Youngjae jarang bicara, tapi dia adalah pendengar yang baik. Apapun yang kukatakan, dia selalu mendengarkanku danmenanggapi dengan komentarnya yang singkat.

Hanya ada satu pengecualian hal yang tidak ingin didengarnya. Dia tidak ingin mendengar ceritaku tentang mimpi burukku. Dia bilang, jika seseorang menceritakan mimpinya, maka hal itu bisa menjadi kenyataan. Dan aku tentu saja tidak menginginkan hal itu terjadi.

Tapi mengenai mimpi burukku ini, bukan sekali-dua kali saja aku mengalami mimpi yang sama dan terus menerus berulang ini. Hal itu membuatku benar-benar merasa khawatir. Barusan pun begitu juga. Aku kembali mengalami mimpi aneh itu. Yang membuatnya berbeda dari yang sudah-sudah adalah mimpi kali ini ada seseorang yang menolongku. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi yang membuatku merasa aman adalah suara orang itu mirip Youngjae.

Untuk itulah aku berterima kasih padanya. Karena sudah membuat mimpiku tidak seburuk yang sudah-sudah.

Drrtt!

Aku merasa ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari Daehyun.

-Kau benar-benar pergi bersama Youngjae? Kau rela menolak ajakanku demi dia? .-

Aku membalas pesan Daehyun dengan mengatakan 'maafkan aku' lalu menatap Youngjae. Sebenarnya apa hubungan antara Youngjae dan Daehyun? Kenapa seakan-akan Daehyun benar-benar khawatir kalau aku sedang bersama Youngjae? Apalagi kejadian kemarin, di saat aku tidak sengaja melihat mereka mengobrol serius di ruang loker.

Youngjae menghela napas.

"Kemarin kau ada di sana kan? Di ruang loker itu?" tanya Youngjae membuatku kaget.

"Eotteokhae arra (bagaimana kau bisa tahu)?"

"Keunyang (begitulah). Seperti yang kau lihat, aku dan Daehyun tidak memliki hubungan yang baik."

"Tapi..." aku bingung bagaimana cara menyampaikan pertanyaanku. Aku takut Youngjae akan tersinggung.

Youngjae tersenyum. "Solijikhi marhae (katakan saja terus terang)."

"Kau dan Daehyun... apakah kalian pernah berteman? So-soalnya kalian tidak pernah terlihat saling bertegur sapa di sekolah, tapi tiba-tiba aku melihat kalian berbicara seolah-olah kalian sudah saling mengenal cukup lam. A-abaikan saja pertanyaanku jika kau tidak mau menjawabnya."

"Dulu kami memang berteman. Bukan, dulu dia adalah sahabatku. Tapi ada suatu kejadian yang mengubah persahabatan kami.' Youngjae tampak menerawang, lalu tersenyum sedih.

"Kejadian... apa?"

"Kejadian yang membuatku terus dihantui perasaan bersalah hingga sekarang. Aku berusaha menghindari bertatapan muka dengan Daehyun karena rasa bersalahku. Aku tidak sanggup melihatnya karena aku tahu dia pasti membenciku."

"Kalau kau merasa bersalah bukankah seharusnya kau minta maaf?"

Youngjae menatapku agak lama. Lalu dia menunduk.

"Kau benar, tapi aku terlalu takut kalau dia tidak akan mau memaafkanku."

"Setidaknya kau sudah berusaha kan? Minta maaflah supaya hatimu tenang."

Youngjae tampak mencerna ucapanku, dan dia pun tersenyum.

"Arrasseo (aku mengerti). Aku akan berusaha minta maaf padanya. Terima kasih sudah menyadarkanku, Jun Hee-ya."

***

*Yoo Youngjae's POV*

Begitu pulang setelah mengantar Jun Hee sampai depan pintu pagar rumahnya, aku dikagetkan dengan kemunculan Daehyun di depan sebuah gerbang
menuju rumahku. Mau apa dia malam-malam begini?

Aku mengepalkan tanganku dan mengumpulkan keberanianku. Ini saatnya aku harus mencoba minta maaf padanya.

"Daehyun."

"Youngjae."

Kami terdiam setelah saling menyapa secara bersamaan. Lalu Daehyun mengalihkan pandangannya.

"Mian." gumamnya, tanpa melihatku.

"Hm?" aku bingung kenapa dia minta maaf.

"A-aku rasa kemarin aku sudah keterlaluan berkata seperti itu padamu. Jadi aku minta maaf."

Aku mengeraskan rahangku.

"Kenapa kau minta maaf?" tanyaku frustasi.

"Musun soriya (apa maksudmu)?"

"Kenapa kau minta maaf padahal sebenarnya aku yang salah. Kau seperti menambah perasaan bersalahku. Kejadian dua tahun yang lalu..." aku berusaha menahan dadaku yang sesak. "Aku benar-benar minta maaf padamu. Nae ga jal mothaesseo (aku benar-benar bersalah). Karena kejadian itu kau jadi tidak bisa bermimpi lagi. Mianhada (maaf)." aku membungkukkan tubuhku 90 derajat. Aku tidak sanggup melihat Daehyun.

"Sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Yang aku sesalkan adalah kenapa waktu itu kau tidak berusaha mengejarku dan langsung meminta maaf? Aku tidak menyangka kau malah diam saja di situ."

"Kau yang bilang kalau aku sudah kehilangan sahabatku!"

"Apa kau bodoh? Bukankah kau seharusnya menyangkal kalimatku itu? Kenapa kau menerima begitu saja omonganku?"

"Waktu itu ... ketika aku hendak mengejarmu... tiba-tiba hyung-ku berkata kedua kakinya mati rasa. Dia berkata dengan begitu panik sampai aku bingung harus bagaimana. Tidak mungkin aku meninggalkan hyung-ku dalam keadaan seperti itu."

"Lalu kenapa setelahnya kau tidak minta maaf? Kau tahu betapa lamanya aku menunggu kalimat maaf itu keluar dari mulutmu? Kupikir kau sudah tidak mau lagi berteman denganku."

"Aku takut! Kupikir semua sudah terlambat. Aku menghindarimu dan menolak bertatapan denganmu karena takut begitu aku membaca pikiranmu... kalau ternyata kau membenciku."

"Memangnya kau pernah dengar aku berkata seperti itu? Bodoh!"

"Maafkan aku!"

"Aissh, jinjja. Karena kesalah pahaman ini, kita tidak bertegur sapa selama dua tahun."

Aku melihat Daehyun mengusap air matanya dengan punggung tangan. Aku tersenyum lega. Dari dulu dia memang orang yang melankolis.

Untuk pertama kalinya setelah dua tahun, aku memberanikan diriku kembali membaca pikiran Daehyun.

'Sial. Seperti orang bodoh saja menangis seperti ini di hadapan orang bodoh.' gerutu Daehyun dalam hatinya lalu dia tertawa sambil tetap mengeluarkan air mata.

Ya. Kami berdua adalah orang bodoh yang dipermainkan oleh kesalahpahaman.


*To be Continued* 140811

Tidak ada komentar:

Posting Komentar