Brakk!!!
Suara sesuatu seperti seseorang
membanting barang mengusik konsentrasi tidur siangku. Dari tempat tidurku, aku
bisa melihat Ryn baru saja menghempaskan tas sekolahnya, dan sekarang dia sudah
duduk dengan wajah kesal di depan meja belajarnya.
“Ah, dasar playboy. Aku pikir dia serius mendekatiku, tapi nyatanya…” Ryn
mendengus kesal. Sepertinya dia sudah memulai ritualnya menceritakan kejadian
yang terjadi padanya hari itu. Dan kali ini episodenya mengenai hubungan
asmaranya.
Yah, episode yang sudah terlalu
biasa mengisi jam-jam siang sepulang sekolah seperti ini. Beberapa minggu lalu,
Ryn menceritakan tentang seorang cowok yang bernama Markus… atau Marquez? Ah,
aku sudah lupa. Yang katanya murid pindahan dari L.A. Istilah keren buat
menyebut Los Angeles. Tampan dan bla bla bla. Si Mark ini mendekati Ryn, teman
dekatku yang pintar tapi polos. Ryn merasa ini sudah waktunya untuk merasakan
apa itu cinta masa SMA. Tapi sayang, cintanya layu sebelum berkembang. Mark
mendekati Ryn hanya sebagai perantara baginya mendekati Elena, teman sebangku
Ryn. Elena yang cantik dan anggota klub balet. Ryn tidak sakit hati pada Elena,
tapi merasa sangat kecewa pada Mark. Menurut Ryn, Mark terlalu pengecut, bukan
tipe laki-laki sejati atau apalah itu namanya. Aku tidak mengerti. Aku hanya
berharap Ryn kembali ceria seperti biasa.
“Hei, G. Sepertinya aku butuh
bantuanmu.” gumam Ryn sambil menarikku dari tempat tidurku.
***
G, nama panggilan Ryn untukku. Aku
pertama kali bertemu dengannya di sebuah toko kacamata. Saat itu, Ryn terlihat
sangat cantik dengan rambut lurus hitam sebahu dan senyum berlesung pipinya.
Dia menyapa temanku yang merupakan penjaga toko kacamata itu. Mereka terlibat
obrolan singkat, lalu dia menyadari kehadiranku. Tatapan mata kami bertemu. Dan
aku akui saat itu aku langsung suka pada Ryn. Apalagi saat mata kami bertemu,
Ryn memamerkan senyum ramahnya padaku.
Aku harap Ryn menyadari kalau aku
membalas senyumnya.
Dan sejak saat itu, kami menjadi
berteman baik.
***
“G, aku benar-benar sakit hati atas
perlakuan Mark yang menyebutku cewek aneh saat aku mengatainya cowok pengecut.”
ujar Ryn suatu hari, sambil memakan es krim green
tea-nya penuh semangat. Ryn memakannya sendiri karena aku tidak bisa.
Aku tidak berkomentar apa-apa,
hanya mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ryn lalu berdecak seperti putus
asa.
“Apa iya aku ini cewek aneh?”
gumamnya, lebih kepada diri sendiri.
(Kau
tidak aneh, kau adalah gadis istimewa.) Itu suara hatiku. Tapi aku tidak memiliki
kemampuan untuk mengungkapkannya pada Ryn.
“Ah, aku tidak percaya pernah
terpesona pada cowok rendah sepertinya.” umpat Ryn. Aku hanya terkekeh geli.
Begitulah Ryn kalau sudah kesal,
kata-kata yang keluar dari mulutnya bisa sangat sadis dan kasar.
“Apa-apaan dia mengataiku cewek
aneh? Ah, aku harap Elena tidak akan
jadian dengan cowok itu. Menyebalkan. Kalau memang dia suka Elena, kenapa dia
mendekatiku dan memperlakukanku seolah-olah dia menyukaiku? Bukankah itu
pengecut namanya?”
(Tapi
itu terdengar seperti perasaan cemburu bagiku, Ryn.)
“Bukan berarti kalau aku cemburu.
Oke, aku akui kalau aku sempat terpesona padanya. Tapi itu hanya perasaan suka
sesaat, kau tahu. Aku hanya terpengaruh karena perhatian-perhatian kecil yang
diberikan Mark kepadaku, sebelum aku tahu kalau ternyata itu hanya palsu.”
(Kalau
begitu, sudah saatnya kau berhenti berkeluh kesah hanya karena si Mark itu,
Ryn. Kau tahu kan, akan ada waktunya kau dipertemukan dengan seseorang yang
memang ditakdirkan untukmu.)
Perlahan-lahan, senyum terkembang
di bibir mungil Ryn. “Aku akan bertemu dengan Mr. Right-ku, dan itu sudah pasti
bukan Mark.”
***
Beberapa minggu kemudian di sebuah
perpustakaan kota yang belakangan sering didatangi Ryn. Saat ini, aku sedang
menemaninya mencari sebuah buku tentang astronomi yang ingin dibacanya. Ryn bilang,
dia sedang tertarik dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan benda luar
angkasa. Tapi aku tahu alasan sebenarnya. Itu karena seorang penjaga
perpustakaan itu yang akhir-akhir ini mencuri perhatian gadis manis bernama
Ryn. Dari perkenalan mereka, aku jadi tahu kalau sang pustakawan itu bernama
Nickhun Apollon Horvejkul bla bla bla. Pokoknya cukup panggil dia Nick. Dia
mengaku keturunan China-Thailand-Amerika. Dia terlihat seperti cowok baik-baik.
Dan ramah. Dan Ryn langsung menyukainya. Meskipun Ryn belum mengakuinya, tapi
dari bahasa tubuh Ryn yang sudah kukenal, aku sangat yakin Ryn menaruh perasaan
kepada Nick.
“Ah, G. Di saat-saat seperti ini,
aku selalu saja merepotkanmu. Aku harap kamu tidak bosan bersamaku.”
(Kebahagiaan
terbesarku adalah bersamamu, Ryn.)
“Mana sih bukunya?” gumam Ryn
dengan nada tidak sabaran. Tapi karena volume suaranya lumayan keras padahal
saat itu kami berada di perpustakaan, aku yakin dia sedang berusaha menarik
perhatian Nick.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya suara
lembut milik Nick, yang entah sudah sejak kapan berada di dekat kami.
Dengan gerakan slow motion, Ryn menoleh ke arah Nick. Dia mengerjap-ngerjapkan
matanya beberapa kali, semburat merah muda mulai menjalari pipinya. Aku meliriknya
sambil terkikik geli.
“A-aku… aku sedang mencari buku
tentang astronomi.” kata Ryn gugup. “Ju-judulnya Konstelasi Cassiopeia.”
Nick tersenyum maklum, lalu tanpa
berkata apa-apa lagi, dia langsung membantu Ryn mencari buku yang dimaksud.
“Nih, ketemu.” ujar Nick sambil
tersenyum manis. Ryn langsung menerimanya dengan malu-malu. Dasar.
“Terima kasih.”
“Apa kau juga menyukai astronomi?”
mata sipit Nick bersinar penuh semangat.
“Eh? Ah, itu … yah, baru-baru ini
aku tertarik dengan astronomi.” jawab Ryn sambil melirikku seolah meminta perlindungan.
“Wah, senang sekali. Rasanya
menemukan teman seperjuangan.” Nick berkata sambil tersenyum lebar.
Dan, begitulah. Komunikasi mereka
berjalan semakin intens. Sampai suatu hari, ketika obrolan mereka mengenai tipe
ideal masing-masing. Ryn memaksakan diri untuk masuk menjadi tipe ideal Nick.
Aku sangat kaget ketika siang itu
melihat Ryn sibuk dengan benda yang paling kubenci di dunia ini. Kontak lensa.
Apa… apa Ryn bermaksud menggunakan
benda menjijikkan itu?
“Ini semua demi Nick. Dia bilang
dia suka gadis yang tidak berusaha menutupi mata indahnya. Nick bilang dia suka
dengan gadis bermata indah. Itulah kenapa hari ini aku akan menggunakan kontak
lensa ini.”
(Lalu,
bagaimana denganku? Kau
akan meninggalkanku di sini sementara kau bersama Nick sialan itu?)
“Maaf, G. Untuk hari ini, aku akan
menyimpanmu di sini. Tenang saja. Kau sahabat terbaik yang pernah kumiliki kok.”
Ryn berkata dengan nada manis sambil memasukkanku ke ‘tempat tidur’ku, benda
berbentuk kotak persegi panjang berwarna coklat. Ryn memasukkanku dengan
hati-hati agar tidak tergores, setelah sebelumnya melapisiku dengan sehelai
kain lembut berwarna biru.
“Aku harap Nick bukan tipe orang
yang akan menganggapku aneh hanya karena aku suka memberi nama buat benda-benda
kesayanganku ya, G. Aku harap Nick adalah Mr. Right yang dikirimkan untukku.”
Tanpa sadar aku tersenyum, lupa
pada kekesalanku tadi dan mengaminkan harapanannya. Bagiku, Ryn bukan gadis
yang aneh, dia adalah gadis istimewa. Menamai benda-benda kesayangan seperti
komputernya yang bernama Sammy-kun, atau tas motif polkadotnya dengan nama
Pokky-chan, atau juga menamaiku dengan Mr. Glasses atau biasa disingkatnya jadi
G, adalah hal-hal yang membuat Ryn jadi semakin menggemaskan di mataku. Ah
lihatlah, bahkan Sammy-kun dan Pokky-chan juga mengangguk setuju.
***
“Hei, G. Sepertinya aku salah
paham. Nick bilang, dibanding memakai kontak lensa, dia lebih suka melihatku
berkacamata. Tempo hari Nick bilang begitu karena dia tidak suka melihat gadis
yang memakai make up dan maskara
tebal untuk menutupi matanya yang sebenarnya sangat indah tanpa riasan apapun. Jadi
mulai besok, aku akan membutuhkanmu lagi.” cerita Ryn berapi-api, aku jadi ikut
bersemangat karenanya. Membayangkan aku bisa kembali menjadi saksi kisah cinta
Ryn bersama Mr. Right-nya, rasanya menyenangkan.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar