Sabtu, 05 September 2015

[Fanfiction] BEFORE THE FULL MOON RISES part 2





[Fanfiction] BEFORE THE FULL MOON RISES
Authorized by : Ujen / 박수잔
Cast(s) : Moon Ga Young & GOT7 (Mark, Jr., JB, Jackson, Youngjae, Bambam & Yugyeom)
Genre : School life, Fantasy
Disclaimer : The story and cover are belong to me.
Chapter 2 : The Reason Why Did I Life





Di ruang makan sebuah rumah mewah.

“Jinyoung, bagaimana persiapan upacara kita?” seorang pria pertengahan usia 50-an membuka obrolan di meja makan itu.

Jinyoung sedikit kaget mendengar namanya disebut. Lalu menoleh takut-takut kepada pria itu.

“Sejauh ini cukup lancar, Yang Mulia—maksudku, Abeoji (ayah).”

Di luar dugaan, pria yang sepertinya sangat disegani Jinyoung itu mengangguk-angguk dan mengembangkan senyum hangat.

“Bagus. Semoga jiwa murni gadis itu nantinya bisa bermanfaat bagi rakyat dan kerajaan kita, Centauri Palace.”

“Tapi, Abeoji, tidak adakah cara lain selain gadis itu? Maksudku—“

“Hanya gadis itu yang menyimpan kekuatan cahaya bulan purnama terkuat yang pernah ada. Kau pasti paham alasan kita sampai menyeberang dunia paralel ini untuk itu kan, Anakku?”

Jinyoung mengangguk lemah, lalu melirik ke arah  Mark yang duduk di seberangnya. Mark menyadari tatapan itu, lalu membuang pandangannya.

Abeoji… aku sudah menyelidiki gadis itu. Apakah itu berarti… tugasku sudah selesai?” tanya Mark tiba-tiba.

Pria paruh baya itu terkekeh. “Masih belum, Mark. Kau harus memastikan gadis itu berada di meja upacara saat purnama ke tujuh nanti. Saat itulah, saat kau menusukkan pisau Crystalite tepat ke jantungnya, dan menaruh jiwa gadis itu ke dalam pisau Crystalite, tugasmu dinyatakan selesai.” Ucapan pria itu membuat Mark membeku dan pucat pasi.

“Tapi… bukankah Abeoji bilang Abeoji sendiri yang akan melakukannya?”

Pria itu memberi tatapan tajam pada Mark.

“Kupikir kau pasti tidak lupa alasanku menyelamatkanmu dulu. Dan juga janjimu untuk menuruti apapun yang kuperintahkan padamu, Mark Tuan. Ingat, kau sudah mengikat perjanjian dengan bangsa kami.”

“…”

“Seharusnya kau bersyukur mempunyai kemampuan itu. Hanya kau satu-satunya yang bisa mendeteksi keberadaan gadis itu. Kalau tidak, aku tidak akan pernah punya pikiran untuk menyelamatkanmu. Aku tidak akan ambil pusing seandainya Jinyoung yang memiliki kekuatan itu. Tapi sayangnya dia lahir tanpa kemampuan apa-apa. Jadi aku harus melindunginya sebagai penerus kekuasaanku. Bukankah begitu?”

Mark mengangkat wajahnya dan menatap pria itu dengan tatapan bergetar.

Ne, Algeussemnida (baik, aku mengerti).”

Sementara Jinyoung mengamatinya dengan pandangan iba.

***

Tok. Tok. Tok.

Mark mendengar suara pintu kamarnya diketuk, lalu dilihatnya kepala Jinyoung menyembul dari celah daun pintu yang terbuka.

“Yo,” sapa Jinyoung sambil tersenyum berjalan masuk ke kamar Mark.

Jinyoung memilih duduk di sebuah kursi meja belajar sementara Mark bersandar di kasurnya, tangannya sibuk mengutak-atik rubik 3x3.

“Kenapa lampu utama tidak dinyalakan, Mark? Kamarmu jadi agak gelap,” Jinyoung berusaha membuka percakapan.

“Biarkan saja, aku suka seperti ini,” sahut Mark datar.

Jinyoung menoleh pada Mark, “Soal ayahku tadi, jangan terlalu dipikirkan. Kau mengerti kan, dia hanya ingin menjaga wibawanya di hadapan anggota keluarga kerajaan yang lain, makanya dia berkata seperti itu padamu.”

Geureosae (entahlah), omongan ayahmu ada benarnya,” gumam Mark masih tetap sibuk mengutak-atik rubiknya, kali ini dua sisi warna sudah sama.

Jinyoung menghela nafas, tiba-tiba teringat sesuatu.

Geu yeoja (gadis itu)… tidak, maksudku Moon Ga Young, apakah kau sudah mengetahui tentang dia sebelumnya? Bagaimana kau tahu bahwa dia si pemilik Jiwa Murni yang kita cari? Kau tahu, aku tidak melihatmu menyentuhnya kemarin.”

Mark menghentikan kegiatannya. Lalu menoleh pada Jinyoung dengan tatapan terganggu.

“Dia teman masa kecilku. Sejak dulu aku memang tidak bisa menyentuhnya—kulitku akan terasa terbakar jika bersentuhan langsung dengan kulitnya. Beberapa waktu lalu, aku sempat bertemu dengannya dan tidak sengaja menyentuhnya. Karena itu aku tahu orang itu adalah dia.”

“Dia… teman masa kecilmu? Mark—“

Eung (ya). Walaupun sepertinya dia sudah tidak ingat padaku…” kalimat Mark terputus saat tahu-tahu dia mendengus. “Kau senang? Pemilik Jiwa Murni itu adalah teman masa kecilku.”

Jinyoung menelan ludahnya susah payah, matanya menatap nanar Mark.

“Mark, apakah… apa kau membenciku?”

***

Ga Young sedang mengamati bandul kalung berbentuk bulan purnama di tangannya ketika dia merasakan seseorang memperhatikannya. Kim Yugyeom, adik angkatnya mengamati Ga Young dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.

Wae (kenapa)?”

“Kupikir kita sedang menonton drama favorit noona tapi sepertinya noona lebih sibuk dengan kalung itu. Apa itu dari pacar noona?” tanya Yugyeom sambil mengangkat sebelah alisnya jail.

Mwo? Namchin? Andwae~ (apa? Pacar? Tidak mungkin)~” teriak Bambam, tetangga mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah itu dibanding rumahnya sendiri.

“Bukan pacar, Bambam. Tapi teman. Teman masa kecilku,” kata Ga Young terkekeh melihat wajah cemberut Bambam. “Waktu masih tinggal di panti asuhan, aku berteman dengan teman yang unik. Dia sangat takut disentuh dan menyentuh orang lain. Tapi karena aku gigih mengajaknya berteman, akhirnya dia mau membuka dirinya, sedikit. Walaupun sampai akhir kami tidak pernah sekedar bersalaman, tapi dia meninggalkan kalung ini sebagai kenang-kenangan, sebelum dia diadopsi dan pindah ke Amerika.”

“Aku … tidak mau noona punya pacar. Noona kan sudah punya aku—“ BUAGHH! Yugyeom melempar Bambam dengan bantal sebelum Bambam sempat menyelesaikan kalimatnya.

“Ayee~ bocah ini masih saja bicara ngawur. Sudah sana, pulang saja.”

Ga Young hanya tertawa saja begitu melihat Yugyeom dan Bambam mulai bergulat di dekatnya. Dia memilih melanjutkan kembali tontonan dramanya.

***

Kurasa orang ini memang aneh. Bagaimana mungkin dia bisa tidur di tengah-tengah pelajaran seperti ini setiap hari? Apalagi guru yang sedang mengajar sekarang termasuk guru yang sadis. Omo, Yoon sonsaengnim berjalan kemari. Bagaimana ini?

Ga Young dengan hati-hati menyentuh bahu Youngjae, teman sebangkunya yang sedang tertidur pulas. Telinganya tertutup headphone sehingga sia-sia saja jika Ga Young bicara padanya. Namun Youngjae bergeming, entah sudah sejauh mana petualangan alam bawah sadarnya.

“Youngjae…” bisik Ga Young pelan ketika Yoon sonsaengnim sudah berdiri tepat di samping meja mereka.

Kepala Youngjae terangkat, dikucek-kuceknya mata sebelum bertatapan dengan guru bertubuh tambun itu.

“Choi Youngjae,” panggil guru itu.

Ssaem (guru), pelajaran Anda sangat membosankan. Apakah Anda tidak menyadarinya?” Youngjae membuka suaranya. Sementara hampir seisi kelas sudah menatapnya ngeri.

“Soal-soal logaritma dasar itu… Aigoo~ kami bahkan sudah mempelajarinya saat SD—“

“Ahh, sepertinya dia masih belum sepenuhnya bangun dari tidurnya, Ssaem. Aku akan membawanya ke luar untuk membuatnya bangun. Permisi.”

Jaebum secepat kilat menarik tubuh Youngjae dan setengah menyeretnya keluar dari kelas. Sementara Youngjae menatapnya dengan tatapan bingung.

Selama beberapa detik berikutnya, seisi kelas mendadak hening.

***

Cafeteria.

Jinyoung menghampiri Ga Young yang sedang duduk sendirian sambil menikmati makan siangnya. Diamatinya wajah serius Ga Young yang sedang menikmati French Fries sambil sesekali sebelah tangannya sibuk menulis sesuatu.

“Kau salah menjawabnya,” ujar Jinyoung tiba-tiba, membuat Ga Young mendongak dan sedikit kaget melihat Jinyoung sudah duduk di hadapannya.

“Park Jinyoung?”

“Sepertinya kau sedikit kesulitan menjawab pertanyaan itu, mau kubantu?”

Mata Gayoung melebar, lalu dia tersenyum.

“Kau bisa membantuku?”

“Tentu.”

“Bagaimana kalau kita pindah ke meja yang lebih besar itu?” Tanya Jackson yang tiba-tiba menghampiri mereka. “Aku sudah menyiapkan paket makan siang untukmu,” Jackson bicara pada Ga Young. Ga Young menatap sebal Jackson yang menyela pembicaraan seenaknya. Kemudian matanya beralih mengamati meja yang ditunjuk Jackson. Youngjae dan Jaebum sudah duduk di sana, menunggu mereka.

“Aku paling tidak suka kalau ada orang yang menyiapkan pesanan makanan untukku,” gumam Ga Young sebal.

“Lalu, bagaimana kalau meja yang itu?” Jinyoung menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan dagunya mengedik ke satu meja di sudut cafeteria.

Ga Young menoleh ke arah yang ditunjuk Jinyoung. Di sana Mark tengah duduk sendirian dengan sebelah tangan memegang gelas kertas berisi cola. Mata tajam Mark terus-menerus menatap mata Ga Young tanpa berkedip.

Deg! Jantung Ga Young berdenyut aneh.

Tatapan itu… tatapan itu terasa familiar. Tapi… di mana aku pernah melihatnya?

“Bagaimana, Ga Young?”

“Hm?” Ga Young terkesiap mendengar suara Jinyoung. “Ngg, sepertinya aku akan belajar sendirian dulu untuk saat ini,” Ga Young tersenyum paksa, membuat Jinyoung paham.

“Baiklah. Kau bisa datang padaku kapanpun kau butuh bantuan.” Tutup Jinyoung lalu segera bangit dari kursinya. Matanya melirik Mark yang sekarang sedang menggoyang-goyang gelas colanya.

Kepalanya memutar kalimat Mark tempo hari.

“Mark, apakah… apa kau membenciku?” Tanya Jinyoung membuat Mark mengerutkan alisnya heran.

“Naega wae (kenapa aku harus membencimu)?”

“Kau terlihat dingin dan menjaga jarak denganku. Juga dengan Jaebum dan Jackson. Kupikir kau membenciku dan juga pengawalku karena—“

“Aku membenci diriku sendiri,” potong Mark sinis. “Di satu sisi, aku harus menuruti perintah ayahmu tapi di sisi lain, aku menyadari ada satu hal yang membuatku bertahan hidup. Untuk melindungi orang yang penting bagiku.”

“Ga Young-ie?”

“Tidak peduli apakah dia sudah lupa atau masih ingat padaku. Atau pura-pura tidak mengenalku, aku akan berusaha menebus kesalahanku dengan melindunginya. Apapun caranya.”

***To Be Countinued***
150904, 20.49 WIB.

Ujen/박수잔

Tidak ada komentar:

Posting Komentar