[Fanfiction]
BEFORE THE FULL MOON RISES
Authorized
by : Ujen / 박수잔
Cast(s)
: Moon Ga Young & GOT7 (Mark, Jr., JB, Jackson, Youngjae, Bambam &
Yugyeom)
Genre
: School life, Fantasy
Disclaimer
: The story and cover are belong to me.
Chapter
2 : The Reason Why Did I Life
Di ruang makan sebuah rumah mewah.
“Jinyoung, bagaimana persiapan
upacara kita?” seorang pria pertengahan usia 50-an membuka obrolan di meja
makan itu.
Jinyoung sedikit kaget mendengar
namanya disebut. Lalu menoleh takut-takut kepada pria itu.
“Sejauh ini cukup lancar, Yang
Mulia—maksudku, Abeoji (ayah).”
Di luar dugaan, pria yang
sepertinya sangat disegani Jinyoung itu mengangguk-angguk dan mengembangkan
senyum hangat.
“Bagus. Semoga jiwa murni gadis itu
nantinya bisa bermanfaat bagi rakyat dan kerajaan kita, Centauri Palace.”
“Tapi, Abeoji, tidak adakah cara lain selain gadis itu? Maksudku—“
“Hanya gadis itu yang menyimpan
kekuatan cahaya bulan purnama terkuat yang pernah ada. Kau pasti paham alasan
kita sampai menyeberang dunia paralel ini untuk itu kan, Anakku?”
Jinyoung mengangguk lemah, lalu melirik
ke arah Mark yang duduk di seberangnya. Mark
menyadari tatapan itu, lalu membuang pandangannya.
“Abeoji… aku sudah menyelidiki gadis itu. Apakah itu berarti…
tugasku sudah selesai?” tanya Mark tiba-tiba.
Pria paruh baya itu terkekeh. “Masih
belum, Mark. Kau harus memastikan gadis itu berada di meja upacara saat purnama
ke tujuh nanti. Saat itulah, saat kau menusukkan pisau Crystalite tepat ke
jantungnya, dan menaruh jiwa gadis itu ke dalam pisau Crystalite, tugasmu
dinyatakan selesai.” Ucapan pria itu membuat Mark membeku dan pucat pasi.
“Tapi… bukankah Abeoji bilang Abeoji sendiri yang akan melakukannya?”
Pria itu memberi tatapan tajam pada
Mark.
“Kupikir kau pasti tidak lupa
alasanku menyelamatkanmu dulu. Dan juga janjimu untuk menuruti apapun yang
kuperintahkan padamu, Mark Tuan. Ingat, kau sudah mengikat perjanjian dengan
bangsa kami.”
“…”
“Seharusnya kau bersyukur mempunyai
kemampuan itu. Hanya kau satu-satunya yang bisa mendeteksi keberadaan gadis
itu. Kalau tidak, aku tidak akan pernah punya pikiran untuk menyelamatkanmu. Aku
tidak akan ambil pusing seandainya Jinyoung yang memiliki kekuatan itu. Tapi
sayangnya dia lahir tanpa kemampuan apa-apa. Jadi aku harus melindunginya
sebagai penerus kekuasaanku. Bukankah begitu?”
Mark mengangkat wajahnya dan
menatap pria itu dengan tatapan bergetar.
“Ne, Algeussemnida (baik,
aku mengerti).”
Sementara Jinyoung mengamatinya
dengan pandangan iba.
***
Tok. Tok. Tok.
Mark mendengar suara pintu kamarnya
diketuk, lalu dilihatnya kepala Jinyoung menyembul dari celah daun pintu yang
terbuka.
“Yo,” sapa Jinyoung sambil
tersenyum berjalan masuk ke kamar Mark.
Jinyoung memilih duduk di sebuah
kursi meja belajar sementara Mark bersandar di kasurnya, tangannya sibuk
mengutak-atik rubik 3x3.
“Kenapa lampu utama tidak
dinyalakan, Mark? Kamarmu jadi agak gelap,” Jinyoung berusaha membuka
percakapan.
“Biarkan saja, aku suka seperti
ini,” sahut Mark datar.
Jinyoung menoleh pada Mark, “Soal
ayahku tadi, jangan terlalu dipikirkan. Kau mengerti kan, dia hanya ingin
menjaga wibawanya di hadapan anggota keluarga kerajaan yang lain, makanya dia
berkata seperti itu padamu.”
“Geureosae (entahlah), omongan ayahmu ada benarnya,” gumam Mark
masih tetap sibuk mengutak-atik rubiknya, kali ini dua sisi warna sudah sama.
Jinyoung menghela nafas, tiba-tiba
teringat sesuatu.
“Geu yeoja (gadis itu)…
tidak, maksudku Moon Ga Young, apakah kau sudah mengetahui tentang dia
sebelumnya? Bagaimana kau tahu bahwa dia si pemilik Jiwa Murni yang kita cari? Kau
tahu, aku tidak melihatmu menyentuhnya kemarin.”
Mark menghentikan kegiatannya. Lalu
menoleh pada Jinyoung dengan tatapan terganggu.
“Dia teman masa kecilku. Sejak dulu
aku memang tidak bisa menyentuhnya—kulitku akan terasa terbakar jika
bersentuhan langsung dengan kulitnya. Beberapa waktu lalu, aku sempat bertemu
dengannya dan tidak sengaja menyentuhnya. Karena itu aku tahu orang itu adalah
dia.”
“Dia… teman masa kecilmu? Mark—“
“Eung (ya). Walaupun sepertinya dia sudah tidak ingat padaku…” kalimat
Mark terputus saat tahu-tahu dia mendengus. “Kau senang? Pemilik Jiwa Murni itu
adalah teman masa kecilku.”
Jinyoung menelan ludahnya susah
payah, matanya menatap nanar Mark.
“Mark, apakah… apa kau membenciku?”
***
Ga Young sedang mengamati bandul
kalung berbentuk bulan purnama di tangannya ketika dia merasakan seseorang
memperhatikannya. Kim Yugyeom, adik angkatnya mengamati Ga Young dengan
pandangan penuh rasa ingin tahu.
“Wae (kenapa)?”
“Kupikir kita sedang menonton drama
favorit noona tapi sepertinya noona lebih sibuk dengan kalung itu. Apa
itu dari pacar noona?” tanya Yugyeom
sambil mengangkat sebelah alisnya jail.
“Mwo? Namchin? Andwae~ (apa? Pacar? Tidak mungkin)~”
teriak Bambam, tetangga mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah
itu dibanding rumahnya sendiri.
“Bukan pacar, Bambam. Tapi teman. Teman
masa kecilku,” kata Ga Young terkekeh melihat wajah cemberut Bambam. “Waktu
masih tinggal di panti asuhan, aku berteman dengan teman yang unik. Dia sangat
takut disentuh dan menyentuh orang lain. Tapi karena aku gigih mengajaknya
berteman, akhirnya dia mau membuka dirinya, sedikit. Walaupun sampai akhir kami
tidak pernah sekedar bersalaman, tapi dia meninggalkan kalung ini sebagai
kenang-kenangan, sebelum dia diadopsi dan pindah ke Amerika.”
“Aku … tidak mau noona punya pacar. Noona kan sudah punya
aku—“ BUAGHH! Yugyeom melempar Bambam dengan bantal sebelum Bambam sempat
menyelesaikan kalimatnya.
“Ayee~ bocah ini masih saja bicara
ngawur. Sudah sana, pulang saja.”
Ga Young hanya tertawa saja begitu
melihat Yugyeom dan Bambam mulai bergulat di dekatnya. Dia memilih melanjutkan
kembali tontonan dramanya.
***
Kurasa
orang ini memang aneh. Bagaimana mungkin dia bisa tidur di tengah-tengah
pelajaran seperti ini setiap hari? Apalagi guru yang sedang mengajar sekarang
termasuk guru yang sadis. Omo, Yoon sonsaengnim berjalan
kemari. Bagaimana ini?
Ga Young dengan hati-hati menyentuh
bahu Youngjae, teman sebangkunya yang sedang tertidur pulas. Telinganya
tertutup headphone sehingga sia-sia
saja jika Ga Young bicara padanya. Namun Youngjae bergeming, entah sudah sejauh
mana petualangan alam bawah sadarnya.
“Youngjae…” bisik Ga Young pelan
ketika Yoon sonsaengnim sudah berdiri
tepat di samping meja mereka.
Kepala Youngjae terangkat,
dikucek-kuceknya mata sebelum bertatapan dengan guru bertubuh tambun itu.
“Choi Youngjae,” panggil guru itu.
“Ssaem (guru), pelajaran Anda sangat membosankan. Apakah Anda tidak
menyadarinya?” Youngjae membuka suaranya. Sementara hampir seisi kelas sudah
menatapnya ngeri.
“Soal-soal logaritma dasar itu… Aigoo~ kami bahkan sudah mempelajarinya
saat SD—“
“Ahh, sepertinya dia masih belum
sepenuhnya bangun dari tidurnya, Ssaem.
Aku akan membawanya ke luar untuk membuatnya bangun. Permisi.”
Jaebum secepat kilat menarik tubuh
Youngjae dan setengah menyeretnya keluar dari kelas. Sementara Youngjae
menatapnya dengan tatapan bingung.
Selama beberapa detik berikutnya,
seisi kelas mendadak hening.
***
Cafeteria.
Jinyoung menghampiri Ga Young yang
sedang duduk sendirian sambil menikmati makan siangnya. Diamatinya wajah serius
Ga Young yang sedang menikmati French Fries sambil sesekali sebelah tangannya
sibuk menulis sesuatu.
“Kau salah menjawabnya,” ujar
Jinyoung tiba-tiba, membuat Ga Young mendongak dan sedikit kaget melihat
Jinyoung sudah duduk di hadapannya.
“Park Jinyoung?”
“Sepertinya kau sedikit kesulitan
menjawab pertanyaan itu, mau kubantu?”
Mata Gayoung melebar, lalu dia
tersenyum.
“Kau bisa membantuku?”
“Tentu.”
“Bagaimana kalau kita pindah ke
meja yang lebih besar itu?” Tanya Jackson yang tiba-tiba menghampiri mereka. “Aku
sudah menyiapkan paket makan siang untukmu,” Jackson bicara pada Ga Young. Ga
Young menatap sebal Jackson yang menyela pembicaraan seenaknya. Kemudian
matanya beralih mengamati meja yang ditunjuk Jackson. Youngjae dan Jaebum sudah
duduk di sana, menunggu mereka.
“Aku paling tidak suka kalau ada
orang yang menyiapkan pesanan makanan untukku,” gumam Ga Young sebal.
“Lalu, bagaimana kalau meja yang
itu?” Jinyoung menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan dagunya mengedik
ke satu meja di sudut cafeteria.
Ga Young menoleh ke arah yang ditunjuk
Jinyoung. Di sana Mark tengah duduk sendirian dengan sebelah tangan memegang
gelas kertas berisi cola. Mata tajam Mark terus-menerus menatap mata Ga Young
tanpa berkedip.
Deg! Jantung Ga Young berdenyut
aneh.
Tatapan
itu… tatapan itu terasa familiar. Tapi… di mana aku pernah melihatnya?
“Bagaimana, Ga Young?”
“Hm?” Ga Young terkesiap mendengar
suara Jinyoung. “Ngg, sepertinya aku akan belajar sendirian dulu untuk saat
ini,” Ga Young tersenyum paksa, membuat Jinyoung paham.
“Baiklah. Kau bisa datang padaku
kapanpun kau butuh bantuan.” Tutup Jinyoung lalu segera bangit dari kursinya. Matanya
melirik Mark yang sekarang sedang menggoyang-goyang gelas colanya.
Kepalanya memutar kalimat Mark
tempo hari.
“Mark,
apakah… apa kau membenciku?” Tanya Jinyoung membuat Mark mengerutkan alisnya
heran.
“Naega
wae (kenapa aku harus membencimu)?”
“Kau
terlihat dingin dan menjaga jarak denganku. Juga dengan Jaebum dan Jackson. Kupikir
kau membenciku dan juga pengawalku karena—“
“Aku
membenci diriku sendiri,” potong Mark sinis. “Di satu sisi, aku harus menuruti
perintah ayahmu tapi di sisi lain, aku menyadari ada satu hal yang membuatku
bertahan hidup. Untuk melindungi orang yang penting bagiku.”
“Ga
Young-ie?”
“Tidak
peduli apakah dia sudah lupa atau masih ingat padaku. Atau pura-pura tidak
mengenalku, aku akan berusaha menebus kesalahanku dengan melindunginya. Apapun
caranya.”
***To
Be Countinued***
150904,
20.49 WIB.
Ujen/박수잔
Tidak ada komentar:
Posting Komentar