Note
: I can’t get enough with my OTP from Sassy, Go Go! Drama. So I decided to
write this FF.
Disclaimer
: Ide cerita murni milik saya. Dan casts-nya milik SGG.
Happy
reading~
Aku memandang sekeliling bandara Incheon dengan
perasaan rindu yang memenenuhi rongga dada. Berlebihan memang. Aku hanya
meninggalkan Korea selama satu bulan karena seminar yang harus kuikuti di
Jerman. Kalau tidak penting, aku tidak akan pernah berpikir untuk pergi ke sana.
Meninggalkan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku.
“Oii, Kim Yeol!”
Aku menoleh ke asal suara. Seorang gadis dengan
rambut diikat ekor kuda melambai sambil tersenyum lebar ke arahku. Aku
tersenyum, lalu berjalan menyeret koperku dan menghampirinya. Seorang bocah
berumur sekitar lima tahun menatapku sambil mengerutkan alisnya.
“Annyeong,
Jaebum-ah~” aku menyapa bocah itu. Tapi
kerutannya makin dalam.
“Ahjusshi,
kau tidak lupa membawakanku oleh-oleh kan? Noona
bilang kau lupa membelinya.”
Aissh,
bocah kurang ajar. Kenapa aku dipanggil ‘Ahjusshi’
sedangkan gadis di sampingnya dipanggil ‘Noona’?
Aku memasang senyum, lalu berjongkok di depannya.
“Entahlah, menurutmu aku bawa oleh-oleh atau tidak?”
Jaebum melirik koperku, lalu kembali menatapku
dengan tatapan ingin tahunya.
“Kau… benar-benar membawanya kan?” tanyanya
ragu-ragu.
“Kalau kau memanggilku ‘Hyung’, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Tapi, noona
bilang aku harus memanggilmu ‘Ahjusshi’.”
Aku melirik sebal gadis yang sekarang sedang sibuk menahan
tawanya. Lalu berdiri dan melingkarkan lenganku ke lehernya.
“Aakk,” teriaknya mencoba melepas rangkulanku.
“Kang Yeon Doo, neo
jinjja (kau ini benar-benar)…”
“Hentikan… hentikan, Kim Yeol,” pintanya sambil
terus tertawa-tawa. Dia menepuk-nepuk lenganku, memberi isyarat supaya aku
melepaskannya. Mana mau aku melakukannya sebelum…
Mengecup pipinya sekilas, membuatnya mematung beberapa
saat sebelum menoleh padaku perlahan.
“Aku merindukanmu, Kang Yeon Doo.”
***
Di dalam taksi yang membawa kami dari bandara menuju
apartemenku. Sebelumnya, kami mampir ke tempat kursus piano Jaebum dan
mengantarkannya ke sana. Yeon Doo tertidur dengan kepala yang bersandar di
bahuku. Aku membiarkannya karena sudah terbiasa. Kupandangi wajah tidurnya dan
tanpa sadar, senyumku kembali terbit. Rasanya jetlag yang kualami karena
perjalanan dari Jerman ke Korea hilang tidak berbekas. Dia adalah matahariku. Sumber
energiku. Sebulan di Jerman saja sudah membuatku rindu setengah mati padanya. Bagaimana
jadinya kalau seminar itu diperpanjang?
Yeon Doo terbangun lalu mengucek-ngucek matanya.
“Sudah sampai?” tanyanya dengan nada mengantuk.
“Sebentar lagi. Kalau kau mengantuk, tidur saja
lagi,” kataku setengah memohon. Dia terlihat benar-benar lelah saat ini.
Yeon Doo memijat bahunya. “Hari ini kafe sudah penuh
sejak pagi,” gumamnya seolah tahu kalau aku mengkhawatirkan keadaannya. Aku
berdecak, lalu menatapnya khawatir.
“Makanya kan… kubilang tidak usah menjemputku,”
“Aigoo~
Kim Yeol, kau seperti tidak tahu aku saja. Aku baik-baik saja, tubuhku ini
kuat. Urusan kafe itu sudah jadi bagian keseharianku. Keokjeongma (jangan khawatir), huh?”
Aku tidak menjawab apa-apa dan hanya menghembuskan nafas.
Lalu tiba-tiba ponselku bergetar, aku mengeluarkannya dari saku celana dan
mengeceknya. Ternyata Ha Joon, sahabatku yang mengirim pesan.
-Kau sudah
pulang? Kenapa tidak bilang-bilang?-
Aku terkekeh, lalu segera membalas SMS-nya dengan
mengatakan aku akan mengunjunginya besok. Yeon Doo memanjangkan lehernya,
berusaha mengintip ponselku.
“Apa?” tanyaku pura-pura terganggu.
“Siapa?” tanyanya sambil menunjuk ponselku dengan
dagunya.
“My lover,”
godaku, membuatnya memasang ekspresi seperti mau muntah.
“Ha Joon-ie?
Apa dia memberitahumu kalau kita akan mengadakan reuni tim cheerleading?”
“Benarkah?” tanyaku bersemangat. “Kapan?”
“Minggu depan, di kafe Real Baekho King.”
Aku mendengus geli. Tentu saja, untuk urusan seperti
ini, Yeon Doo paling suka merepotkan diri. Dia akan sibuk dari sejak subuh,
mengurus segala keperluan yang berhubungan dengan teman-teman kami dari tim
cheerleading SMA Sevit. Aku cukup yakin akan hal itu.
Ah, sudah berapa tahun ya aku tidak pernah ikut
reuni? Aku mencoba menghitung, sudah sekitar delapan tahun? Wow, aku tidak
menyangka sudah selama itu. Tidak seperti Yeon Doo yang sering bertemu mereka, waktuku
benar-benar tersita karena studiku di US, membuatku
hampir tidak bisa menyempatkan diri menyapa mereka.
“Omong-omong… Kim Yeol, kau bilang ini terakhir
kalinya kau ikut seminar itu kan? Aishh,
aku benar-benar tidak enak pada yang lain karena terus-menerus menanyakanmu. Mereka
menganggap kau sudah sombong dan melupakan mereka. Jadi kali ini, pastikan kau
datang ke acara reuni. Mengerti?”
“Tenang saja. Aku sudah menerima tawaran pekerjaan
di sini, jadi aku tidak perlu lagi bolak-balik ke luar negeri. Ah, sebenarnya
aku juga merasa lelah kalau harus sering bepergian ke luar negeri. Apalagi,
harus meninggalkanmu untuk waktu yang lama,” aku menyeringai jahil padanya.
Yeon Doo memutar bola matanya, tapi lalu tersenyum malu-malu. Tuhan… kenapa dia
terlihat begitu menggemaskan?
“Tapi…” gumamku sambil meliriknya, “Sebulan tidak
bertemu, sepertinya kau rada gemukan ya?”
Yeon Doo menegakkan punggungnya, lalu memberiku
tatapan tajam.
“Jangan. Pernah. Mengucapkan. Kalimat. Itu. Lagi. Mengerti?”
***
Aku menatap bangunan di depanku, RS Internasional
Sejong. Lalu mataku menangkap seseorang yang berpakaian layaknya seorang dokter
melambai padaku sambil tersenyum lebar hingga matanya hilang, aku balik
melambai padanya. Dia berjalan terlebih dahulu menghampiriku.
“Yaa, Kim
Yeol. Oraemaninde (lama tidak
berjumpa)!” sapanya sambil menepuk bahuku.
Aku mendengus, “Jaljinaeni
(apa kabar), Seo Ha Joon?”
Ha Joon menghela nafas. Dia memberi isyarat supaya
kami berjalan menuju kantin RS.
“Akhir-akhir ini aku benar-benar sibuk. Ayahku sakit
keras, jadi aku tidak pernah sempat menemuimu,” cerita Ha Joon ketika kami
sudah duduk di sebuah bangku panjang dan membeli cola di kantin.
“Aku mengerti. Aku juga harus bolak-balik ke luar
negeri. Bahkan aku tidak pernah sempat ikut reuni selama ini,” kataku
menghiburnya.
Aku kuliah di MIT (Massachusetts Institute of
Technology) jurusan Brain and Cognitice Science selama beberapa tahun selepas SMA. Setelah
menyelesaikan kuliah, aku mengikuti wajib militer selama dua tahun, lalu, tepatnya
ketika umur kami menginjak 27 tahun, aku memutuskan melamar Yeon Doo dan
menikahinya lima bulan lalu. Iya, Kang Yeon Doo. Kami pacaran sejak kelas 2
SMA. Hubungan kami sempat memiliki masalah karena kedua orangtua kami yang
memutuskan menikah. Tapi akhirnya aku memberanikan diri bicara pada mereka
tentang hubunganku dengan Yeon Doo, tidak kusangka kedua orangtua kami malah menyambut
baik hal itu. Aku secepat mungkin mengurus surat pemindahan daftar keluarga ke
nama ibuku. Karena menikahi saudara tiri adalah hal tabu di Korea. Jadi setelah
berganti keanggotaan keluarga ke ibuku, otomatis aku bukan saudara tiri Yeon
Doo. Aku beruntung karena ibuku juga bermarga Kim, sehingga secara resmi,
namaku tetap menjadi Kim Yeol.
Walaupun ayah dan ibuku sudah lama bercerai, tapi
aku bersyukur ibuku masih berkomunikasi dengan baik walaupun sekarang dia sudah
memiliki keluarga lain. Aku memilih kuliah di MIT juga supaya bisa lebih dekat
dengan ibuku yang tinggal di dekat sana (dan kalian tetap harus tahu betapa
ketat persaingan untuk masuk sana).
Yah, sepertinya saat resepsi pernikahan kami itulah,
satu-satunya kesempatanku untuk bertemu dengan teman-teman cheerleading kami. Selebihnya,
waktuku benar-benar tersita karena pekerjaanku sebagai neurologis dan mengisi
seminar di mana-mana. Aku tidak benar-benar ada waktu menyapa mereka dan itu
membuatku sedih.
Ha Joon tersenyum sambil melirikku.
“Kudengar kau akhirnya menerima tawaran kerja di
Korea?” tanya Ha Joon.
“Yah, setelah beberapa pertimbangan, kupikir aku
lebih tenang jika menetap di sini daripada harus bolak-balik jadi pembicara dan
dosen tamu di luar negeri. Waktuku benar-benar tersita.”
Ha Joon terkekeh. “Bukannya dulu kau paling suka
naik pesawat? Makanya kau jual mahal dan menolak mentah-mentah berbagai tawaran
di sini,”
“Aishh,
sekarang keadaannya sudah berubah,” kataku sambil menyeringai padanya. Ha Joon
mencibirku.
“Menyebalkan sekali,” gerutunya, membuatku
meliriknya jahil.
“Kau sendiri? Kapan memberiku undangan?”
“M-mwo (a-apa)?”
tanyanya salah tingkah.
“Ya, ya, aku tahu. Kau pasti ingin lebih lama
merasakan jadi idola di RS ini kan? Sudah berapa banyak perawat dan dokter
wanita di sini yang mengajakmu kencan?”
“Eo-eotteokhae
ara (ba-bagaimana kau bisa tahu)?”
Aku tertawa, dia masih tidak berubah. Mudah salah
tingkah.
“Menurutmu? Siapa lagi yang suka cerita padaku kalau
bukan Kang Yeon Doo. Aigoo, dia
cerita kalau kau sangat popular di antara ibu-ibu hamil. Sepertinya kau memang
cocok jadi dokter kandungan.”
Ha Joon tersenyum kecil. Waktu SMA, dia pernah
bilang padaku kalau dia menaruh perasaan khusus pada Yeon Doo. Awalnya aku
merasa kecewa dan dikhianati. Tapi lalu aku sadar kalau dia tidak bisa menolak
perasaannya sendiri. Ha Joon sendiri, pada akhirnya menyadari kalau perasaannya
hanya sebatas kagum pada Yeon Doo. Tentu saja, siapa yang tidak mengagumi Kang
Yeon Doo, istriku tercinta?
“Jadi, kau akan mulai bekerja di sini?” Ha Joon
mengalihkan pembicaraan. Aku mengangguk.
“Eung~
jangan marah kalau nanti penggemarmu pindah fandom,” godaku.
Ha Joon tertawa. “Ya! Kau ini sudah punya istri,”
“Aku hanya bilang ‘penggemarmu akan pindah fandom’,
sulit untuk menolak pesonaku. Kau tahu itu kan? Tentu saja mereka tidak bisa
dibandingkan dengan Yeon Doo,” kataku lalu menenggak habis colaku. Lalu
teringat sesuatu.
“Oh ya, soal reuni… kau bisa hadir?” tanyaku
memastikan.
“Aku akan mencocokkan jadwalku. Jika memungkinkan,
aku bisa datang.”
“Ayy, kau harus datang~ kapan lagi kita bisa
berkumpul bersama. Kau tidak kasihan padaku yang tidak tahu apa-apa soal
perkembangan teman-teman tim cheerleading kita?”
“Berhenti menyebut ‘cheerleading’, kau membuatku
malu.”
“Oh? Jadi orang-orang di sini belum tahu kalau
dokter idola mereka dulu mantan anggota cheerleading? Haruskah aku
mengumumkannya?”
“Ya! Kau
juga sama saja kan? Kau bahkan menjadi blackhole
setiap kali kita tampil. Kau ini niat tidak sih ikut cheerleading?”
Aku mengangkat bahu. “Sepertinya alasanku bertahan
latihan dan mengibas-ngibaskan pom-pom itu adalah Kang Yeon Doo,” kataku sambil
tersenyum membayangkan wajah Yeon Doo. Ha Joon mendengus geli.
‘Mau kuberi hadiah sebagai tanda penyambutanmu kerja
di RS ini?” bisiknya, membuatku menautkan alis.
“Apa?”
Ha Joon tersenyum misterius, lalu kembali
membisikiku kalimat yang jauh lebih bernilai dibanding benda-benda mahal. Sekaligus
membuatku kesal.
“Aishh,
Kang Yeon Doo.”
***
D-day reuni.
Seperti dugaanku, Yeon Doo sudah mulai sibuk sejak
pagi di kafe Real King, kafe yang dia rintis sendiri sekitar sebulan yang lalu.
Itulah kenapa kami tidak bisa saling bertemu selama satu bulanan ini. Selama
ini kami sering bolak-balik ke luar negeri karena pekerjaanku. Tapi tentu saja
kami tetap memiliki quality time sebagai pasangan.
Kuamati Yeon Doo yang sesekali mengelap keringatnya,
menolak jika aku yang melakukannya. Dia bilang aku hanya menghambat
kesibukannya itu.
Aku mendengus kesal. Setidaknya dia harus memikirkan
kesehatannya!
“Ahjusshi!”
suara seorang bocah. Aku menoleh lalu mendapati Jaebum, Guru Yang Taebum dan
Guru Nam Jung Ah tersenyum sambil berjalan masuk ke kafe. Aku tersenyum lebar
melihat mereka.
“Ssaem,
annyeonghaseyo~” aku membungkuk hormat pada Guru Yang dan Guru Nam. Sementara
Jaebum, anak mereka langsung berlari ke arah Yeon Doo. Yeon Doo bilang Jaebum
itu menggemaskan dan berharap kelak anak kami seperti Jaebum (makanya dia suka
dekat-dekat Jaebum). Tidak, bagiku dia hanya bocah kurang ajar dan penuh tipu
muslihat. Hanya karena aku menggodanya tentang oleh-oleh itu, dia sekarang
memanggilku ‘Ahjusshi’ padahal
sebelumnya aku dipanggil ‘Hyung’. Aku
tidak mau nantinya anakku penuh tipu muslihat sepertinya.
“Hei, Prof. Kim!” seseorang menepuk punggungku dari
belakang, aku berbalik, lalu mataku terbelalak mendapati Min Hyosik,
bergandengan tangan dengan Kim Na Yeon, di belakang mereka ada Jae Young, Dong
Jae, Soo Ah, Ha Joon, Da Mi…. semua tim cheerleading berkumpul!
“Uljima
(jangan nangis)~” ejek Hyosik, membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan
sepatu.
Lalu dimulailah acara makan-makan di reuni itu. Aku
melirik Yeon Doo, memastikan dia tidak melakukan apa yang bisa membahayakan
kesehatannya. Hyosik mendominasi percakapan dengan leluconnya. Kami juga saling
bertukar cerita, aku lebih suka mendengarkan cerita mereka daripada aku yang
harus cerita. Jadilah Yeon Doo mewakiliku, bercerita apa saja mengenai kami
berdua. Teman-teman dan juga kedua guru kami yang mendengarkannya bahkan merasa
terharu. Mungkin mereka mengira Yeon Doo sedang cerita tentang negeri dongeng
atau apalah.
“Ya, Kang
Yeon Doo. Tunjukkan pada kami soal split-mu yang fenomenal itu. Kami semua
merindukannya,” usul Jae Young, disambut koar tanda setuju dari yang lain.
“Geuronikka
(begitukah)?” tanyanya. Lalu dia bangkit dan bersiap pada posisinya. Tapi aku
cepat-cepat menahannya.
“Ya, Kang
Yeon Doo! Kau ini kan sedang hamil!!!”
Satu detik. Dua detik…. Lima detik. Lima detik,
ruangan itu mendadak senyap.
“Be-benarkah?” tanya Na Yeon memecah keheningan, sementara
Yeon Doo kembali duduk di sampingku.
“Aishh,
Seo Ha Joon! Dasar pengkhianat. Padahal aku sudah bilang padamu kalau kabar ini
untuk kejutan ultahnya dua minggu lagi.”
“Apa-apaan nih. Kenapa Ha Joon harus menyimpan
rahasia seperti itu?” gerutuku.
“Aigoo~ Ha Joon ini kan dokter kandunganku. Aku
berpesan padanya supaya jangan bilang dulu padamu. Kalau sudah begini, apalagi
yang bisa kujadikan kejutan ultahmu?”
“Yaa, Kim
Yeol! Aku tidak menyangka kalau kau hebat juga. Meskipun bolak-balik ke luar
negeri, kau masih sempat menafkahi batin istrimu ya?” Min Hyosik. Kali ini, aku
benar-benar akan menyumpal mulutnya.
“Memangnya kenapa? Walaupun aku bolak-balik kan Yeon
Doo tetap kuajak. Cuma sebulan ini saja dia kutinggal. Kami punya banyak
kesempatan—“
“Aishh, Kim
Yeol! Kau tidak lihat ada bocah di sini?”
“Sudah berapa bulan?” tanya Dong Jae. Yeon Doo
menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Dua bulan. Aku merangkul bahunya
sambil tersenyum. Yeon Doo melirikku malu-malu.
“Termasuk cepat ya?” komentar Guru Nam. “Aku dulu
butuh waktu sekitar 2 tahun untuk mendapatkan Jaebum.”
“Ssaem,
mereka berdua ini sedang dalam masa emasnya. Jadi wajar saja~” timpal Hyosik
disambut tawa yang memenuhi seisi kafe.
“YA!!! Jugeoshipeo (mau mati ya)?” Yeon Doo
mengepalkan tinjunya ke depan wajah Hyosik.
Reuni selanjutnya, aku akan menyiapkan plester atau
kaos kaki untuk menyumpal mulut Hyosik.
***END***
151112,
21.42 WIB
Ujen/박수잔
Awwww gemas sekali, aku kira engga bakalan sesuai ekspetasi ku. Trtnya endnya ttp sesuai sm yg kumau, wlpun engga jd complicated gitu 😂😂😂😂 aku bisa bayangin ini jd ending yg terbaek lah wlpun d drama aslinya adegan kissuenya kurang :( maklum sih drama sekolah anak 18thn jd d batasi kan hiks. Dan si lee geun woo kapan comeback lg ya :( kangen sekali dia blm main drama lg hiks
BalasHapus