Title
: Forever Young
Author
: Park Su Jan (Tsujana Albarabumulih)
Casts
: Ji Chang Wook & OC (Ahn Cheon Sa)
Genre
: slice of life
Chapter
1 : Oppa Next Door
*Author’s
POV*
-Oktober
2014-
Bzztt… bzztt…
Layar ponsel Cheon Sa bergetar,
menampilkan satu pesan masuk. Dengan malas, Cheon Sa mengambil ponsel yang diletakkan
di samping meja kerjanya.
-Sudah
lihat foto yang eomma kirim ke e-mail-mu?-
Cheon Sa mendesah, tdak habis pikir
kenapa ibunya lebih memilih untuk mengirim foto maupun video ke e-mail-nya. Padahal,
seharusnya ibunya bisa dengan mudah mengirimkan foto itu lewat layanan SNS,
ataupun fasilitas MMS.
Cheon Sa lalu mengalihkan
pandangannya ke layar komputer di depannya, membuka website yang menyimpan akun
e-mail-nya. Detik berikutnya dia tertegun, lupa password akunnya. Cheon Sa memang suka menggonta-ganti password
e-mail-nya. Tapi biasanya dia selalu bisa mengingatnya. Tapi karena kemarin dia
terburu-buru dan tidak memperhatikan lagi apa yang diketikkannya untuk
password-nya, sekarang dia kena imbas dari sikap buru-burunya itu.
Cheon Sa mengarahkan kursor ke arah
tulisan ‘Pertanyaan Bantuan’, lalu mengkliknya.
==Nama cinta pertamamu?==
Cheon Sa mengamati tulisan itu
beberapa lama. Lalu tersenyum kecil sebelum mengetikkan sebuah kata.
MICHELANGELO.
***
Juni
2002.
Chang Wook sedang asik menyapukan
kuas ke kanvas berukuran 20x30 cm di depannya. Sesekali matanya mengarah ke
sebuah lukisan wajah seorang master seni lukis yang sangat dikaguminya. Chang
Wook, yang saat itu berusia 15 tahun sangat mengagumi karya-karya pelukis yang
sering dianggap aneh pada zamannya itu. Rata-rata pelukis memang begitu, sering
dianggap aneh ataupun autis karena seakan tidak peduli dengan keadaan
sekitarnya. Ditambah penampilan yang berantakan dan tampak tak terawat,
menjadikan imej seorang pelukis sebagai orang yang berantakan.
Begitu juga dengan dirinya. Bagi Chang
Wook, yang terpenting adalah hasil lukisannya. Urusan apakah baju dan kamarnya
berantakan, dia sama sekali tidak peduli.
“OPPA~!!!” sebuah suara melengking merusak konsentrasinya. Chang Wook
memejamkan mata, mengeraskan rahangnya sebelum perlahan melepaskan sepasang
lengan yang menggelayuti lehernya dengan erat.
“Tto wae (kenapa lagi)?~” gumam Chang Wook malas.
Pemilik suara melengking yang
bernama Ahn Cheon Sa itu lalu menarik sebuah kursi dan duduk di samping kiri
Chang Wook. Dia mengeluarkan sebuah buku gambar dari dalam kantong kertas yang
dibawanya dan ditunjukkannya pada Chang Wook. Chang Wook mengerutkan kening,
matanya menyipit, berusaha mengenali sketsa wajah yang digambar Cheon Sa.
“Keuge… nugu (ini… siapa)?”
tanya Chang Wook penasaran.
Cheon Sa mengerjapkan matanya. “Huh?
Eottokhae molla (bagaimana bisa tidak
tahu), keuge niga (ini kan kau).”
Chang Wook melongo. “YAA~ bagaimana bisa aku sejelek ini?
Lihat! Lihat ini, mana mungkin bibirku setebal ini? Dan ini… seharusnya
hidungku mancung!! Aku tidak terima. Itu bukan aku!” Chang Wook memprotes hasil
lukisan milik Cheon Sa.
Cheon Sa mengerucutkan bibirnya,
sementara Chang Wook sudah kembali fokus pada lukisannya. Cheon Sa mengamati
lukisan Chang Wook yang hampir selesai itu, lalu mencibir.
“Menggambar wajah kakek-kakek lagi?”
Chang Wook menghembuskan nafas
kesal.
“YA~ ini adalah wajah orang yang sangat kukagumi. Dia adalah
inspirasiku melukis. Jangan suka mengejek idolaku seenakmu ya~” Chang Wook
mendorong dahi Cheon Sa dengan telunjuknya.
Cheon Sa tampak tidak peduli, lalu
membaca sebuah tulisan yang terdapat di bawah lukisan wajah itu.
“Mi… Mihel? Mikel?”
“Michelangelo.” Chang Wook membantu
Cheon Sa mengeja nama itu.
“Michelangelo?” Cheon Sa membeo.
“Eung~ dia idolaku.”
Cheon Sa tersenyum malu-malu.
“Ada apa dengan senyum itu?” Chang
Wook meliriknya curiga.
“Kalau begitu, mulai detik ini aku
akan memanggilmu Michelangelo. Ah, bagaimana kalau aku singkat jadi Michele-oppa? Bagaimana? Kedengaran keren kan?”
“Mwo (apa)? Kenapa jadi Michele?”
“Karena Angelo-nya jadi namaku,
Cheon Sa kan bahasa Inggrisnya Angel. Jadi pas kan? Michele untuk oppa, Angelo-nya Cheon Sa.”
Chang Wook mengurut lehernya yang
tiba-tiba terasa pegal. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah bisa menang dari
tetangga yang berusia dua tahun lebih muda darinya itu.
“Ya, ya, terserah kau saja. Nah,
sekarang tolong jangan ganggu aku.”
Cheon Sa kembali mencibir Chang
Wook diam-diam. Lalu memilih duduk di atas kasur yang berantakan. Cheon Sa
mengamati sekelilingnya dan baru menyadari betapa berantakannya kamar itu. Tangannya
mulai terasa gatal dan tanpa aba-aba kembali bangkit dan mulai membereskan
apapun yang dianggapnya berantakan. Chang Wook menyadarinya, tapi dia tetap
melanjutkan lukisannya. Sudah terbiasa dengan suasana seperti itu.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ji
Hyun Woo, kakak Chang Wook yang berusia 17 tahun masuk ke dalam kamar.
“Huwaa~ ada tetangga sasaeng lagi~” komentar pertama Hyun Woo
begitu melihat Cheon Sa.
Cheon Sa melirik bengis ke arah Hyun
Woo. Berbeda dengan Chang Wook, Hyun Woo adalah orang yang ramah dan suka
bercanda. Cheon Sa lebih sering berceloteh dengan Hyun Woo dibanding dengan
Chang Wook. Tapi Chang Wook memiliki pesona tersendiri yang tidak dimiliki Hyun
Woo. Walaupun Chang Wook adalah orang yang pendiam dan terkesan dingin, tapi
dia tampak sangat keren saat sedang fokus dengan melukis. Cheon Sa suka melihat
Chang Wook melukis. Baginya, Chang Wook adalah cinta pertamanya.
Melihat balasan yang diberikan
Cheon Sa lewat tatapannya, Hyun Woo jadi makin bersemangat menggodanya.
“Dari mana kau masuk, nona Sasaeng (penguntit)?” tanya Hyun Woo
sambil meletakkan lengannya di kepala gadis yang sudah dianggapnya seperti
adiknya itu.
Cheon Sa menunjuk jendela di
belakangnya, membuat Hyun Woo melongo.
“Dae~bak. Kau memang pantas disebut Sasaeng, apakah kau berniat mencuri undies milik adikku?”
“Nuga (siapa juga)? Aku hanya membantu Michele oppa membereskan kamarnya.”
Hyun Woo mengangguk-angguk paham,
tapi kemudian dia menyadari sesuatu. “Jjamkan
(tunggu), barusan kau bilang apa? Michele oppa?
Siapa?”
“Yah, siapa lagi kalau bukan adik oppa yang paling tampan?”
Hyun Woo melirik adiknya yang masih
saja fokus melukis.
“Bocah autis itu? Michele?
Huwahahahahaha~” Hyun Woo tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
“Musun utkiya (apanya yang lucu)? Aku memanggilnya Michele karena
itu kependekkan dari nama kakek itu.”
“Kakek siapa?” tanya Hyun Woo di
sela-sela tawanya.
“Michelangelo.” jawab Cheon Sa
mantap.
“Ah~ aku ngerti.” Hyun Woo berkata
dengan nada meremehkan.
“Michele adalah adik oppa, dan Angelo adalah aku, kalau digabung jadi Michelangelo, kan?”
Hyun Woo berusaha mencerna kalimat
Cheon Sa, lalu menangkap sesuatu.
“Neo hokshi… geu aineun
johahanikka (jangan-jangan… kau menyukai bocah ini)?”
Cheon Sa salah tingkah, wajahnya
memanas dan dia kesulitan menjawab pertanyaan Hyun Woo.
“Yaa~ kenapa kalian tidak pacaran saja?” Hyun Woo mencolek dagu
Chang Wook, membuat adiknya itu menoleh dengan tatapan terganggu. Matanya melirik
bergantian antara Cheon Sa dan Hyun Woo.
“Mari dwae (apa masuk akal)? Cheon Sa itu sudah seperti adikku
sendiri!” bantah Chang Wook dengan suara keras.
“Haha, arraseo, arraseo (aku
ngerti, aku ngerti). Aku kan hanya bercanda, kenapa tanggapanmu serius begitu
sih?”
Hyun Woo terus-terusan mengganggu
Chang Wook, sementara Cheon Sa mengamati pemandangan di depannya dengan hati
mencelos.
Adik
apanya? Kita bahkan tidak memiliki hubungan darah,
batin Cheon Sa kesal. Dia lalu berbalik dan keluar dari kamar Chang Wook
melalui jendela dan menuruni kamar yang terletak di lantai dua itu dengan kain
panjang yang sudah dipersiapkannya.
My
first love broke my heart for the first time. Entah darimana
asalnya, tiba-tiba suara Justin Bieber yang menyanyikan lagu Baby menggema di
telinganya.
Cheon Sa menyadari dia patah hati.
*To
Be Continued*
150427,
20.14 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar