Minggu, 26 April 2015

[CERPEN] Rain Over Flower

            Sebut saja namanya Bunga.
Setidaknya begitulah aku menyebutnya. Usianya 17 tahun, satu tahun lebih tua dariku. Rambutnya sehitam malam, bibirnya semerah darah dan kulitnya seputih salju. Dia seperti gambaran nyata dari Snow White. Aku mengenalnya karena dia tetangga satu kompleks denganku. Sampai sekarang aku belum tahu nama aslinya, karena waktu kutanya, dia hanya menjawab dengan menunjuk serumpun bunga mawar yang tumbuh subur di taman kompleks.

           Aku memanggilnya Bunga sejak saat itu. Lagipula kupikir nama itu cocok untuknya yang memang secantik bunga. Sayangnya, kami tidak pernah bicara banyak. Ah, bahkan rasanya aku nyaris tidak pernah bicara dengannya. Karena setiap akan mulai pembicaraan, dia sudah berlari pulang duluan. Aku hanya menduga namanya Bunga dan selebihnya, aku mendengar tentangnya dari Tante Fatma, wanita berdarah Palembang yang merupakan ibunya si Bunga, yang kebetulan teman satu majelis taklim dengan mamaku.

Pernah aku iseng menanyakan tentang Bunga pada Tante Fatma. Yang membuatku semakin penasaran adalah Tante Fatma tidak pernah menyebut nama aslinya Bunga, beliau selalu menyebut Bunga sebagai ‘anak gadisku’ atau ‘putri kesayanganku’. Untuk menanyakan namanya secara langsung rasanya … tidak berani. Hh.

Tante Fatma bilang Bunga suka sekali melukis. Dia tidak sekolah di SMA biasa, tapi homeschooling. Jadi gurunya yang datang ke rumah. Praktis dia tidak punya teman.

“Boleh tidak aku berteman dengan putri kecil Tante?” tanyaku di suatu sore.

“Tentu. Anak gadis-ku pasti akan suka berteman denganmu. Rain kan anak baik.” jawab Tante Fatma sambil tersenyum ramah.

“Tapi kenapa putri kecil Tante tidak mau kuajak ngobrol?”

“Dia hanya terlalu senang karena ada yang mau mengajaknya berteman. Sejak kecil dia tidak pernah punya teman. Kalau Rain mau, bagaimana kalau Rain saja yang main ke rumah?”

Dan aku pun mengangguk antusias.

oOo

Ruangan tempat Bunga melukis jauh dari kesan berantakan. Ruangan itu luas dan bahkan terlampau bersih untuk sebuah studio lukis. Beberapa karya yang sudah dihasilkan si Bunga terpajang di sana. Juga beberapa piala dan medali yang berjejer rapi di sebuah lemari kaca.

Aku melihat Bunga sedang menyapukan kuasnya ke permukaan kanvas seukuran lemari es di rumahku. Aku lalu perlahan menghampirinya dan berdiri di dekatnya.

“Hai.” sapaku. Bunga menoleh dengan gerakan slow motion seperti di anime yang sering kutonton. Kelopak-kelopak bunga sakura seakan berjatuhan di sekelilingnya.

Senyumnya terlukis indah.

“Kita pernah beberapa kali bertemu sebelumnya. Namaku Rainhart, panggil saja Rain. Kamu… Bunga kan?”

Dia seperti menahan tawa, lalu pipinya memerah.

“Kalau begitu, aku akan memanggilmu Hujan.”

Untuk pertama kalinya aku mendengar suara Bunga. Suaranya tidak selembut yang aku bayangkan, agak serak dan terkesan kebule-bulean. Tapi tentu saja tidak seekstrim Cinta Laura.

Oh iya, omong-omong kenapa seenaknya saja dia mengganti namaku dari Rain menjadi Hujan? TT.TT

Sepertinya barusan aku menyuarakan isi hatiku, karena sekarang si Bunga sedang tertawa kecil.

“Aku lebih suka nama yang terkesan Indonesia. Karena kebetulan nama Rain berarti Hujan dalam bahasa Indonesia, jadi aku akan memanggilmu Hujan.”

Tapi kan ‘Hujan’ itu bukan sebuah nama, dan kesannya aku ini orang yang cengeng deh.

“Ngg… apa nama aslimu beneran Bunga?” tanyaku membuat si Bunga kembali menoleh. “Soalnya, waktu aku tanya namamu, kamu menunjuk serumpun bunga mawar yang ada di taman itu. Jadi aku mengira namamu Bunga … atau Mawar?”

Bunga mendengus geli. “Yah, bisa dibilang begitu.” jawabnya santai. Jadi apa nama aslinya memang Bunga?

Melihatku mengerutkan kening, Bunga lagi-lagi tertawa pelan. “Nama asliku Masayu Florence Campbell, Masayu itu seperti nama gelar kebangsawanan dalam kerajaan Palembang, dan Florence-nya berasal dari kata ‘Flower’ yang berarti ‘Bunga’, iya kan?”

Dia bercanda ya? Selain Masayu, nama lengkapnya membuatku tercengang karena benar-benar bukan nama yang terkesan Indonesia.

“Pasti menyenangkan ya bisa main di luar rumah?” ujarnya seakan-akan dia masih bocah berumur 5 tahun yang dilarang main di luar rumah.

“Lho, memangnya kamu dilarang main di luar rumah?” tanyaku heran karena aku kan beberapa kali melihatnya ada di taman.

Bunga menggeleng. “Mama Fatma melarangku. Aku hanya dibolehkan duduk sebentar di taman untuk mencari inspirasi. Makanya waktu bertemu denganmu aku tidak pernah berkesempatan ngobrol.”

Dia lucu juga. Memangnya dia punya berapa mama sampai menyebut mamanya lengkap dengan nama?

“Sebenarnya Mama Fatma hanya khawatir kalau aku terluka. Soalnya sedikit saja aku terluka, darah tidak akan berhenti mengalir keluar. Mama Fatma takut aku akan seperti Papa Jackson yang meninggal karena thalasemia.”

“Tunggu dulu, aku gak ngerti. Bukannya papa kamu bernama Alwi?”

“Mama Fatma dan Papa Alwi itu orangtua angkatku. Orangtua asliku meninggal karena kecelakaan waktu ada perjalanan bisnis di Bali. Mama Sophie, mama asliku meninggal di tempat, sedangkan Papa Jackson meninggal karena tidak ada donor untuk darahnya yang langka. Sepertinya aku juga punya penyakit seperti Papa Jackson.”

Aku kehabisan kata-kata. Aku tidak pernah menyangka kalau Bunga mempunyai hidup yang sulit seperti itu. Orangtua kandungnya meninggal karena kecelakaan, dan dia menderita penyakit langka seperti itu.
oOo

Bunga dilarikan ke rumah sakit karena jarinya terluka saat sedang menajamkan pensilnya dengan cutter. Darahnya terus-menerus mengucur padahal sepertinya lukanya tidak terlalu dalam. Bunga langsung pingsan, jadi Tante Fatma memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.

Aku, mama dan Tante Fatma menunggu dengan cemas di depan UGD.

“Stok darah AB- kita sedang kosong!” seru seorang perawat yang lewat di depan kami. Sepertinya di sedang bicara dengan seseorang di telepon.

AB-? Aku pernah mendengar kalau itu adalah golongan darah terlangka di dunia. Hanya dimiliki oleh 1 dari 2000 orang. Dan Bunga memiliki golongan darah itu?

“Duh, aku gak bisa donorin nih, golongan darahku B.” kata mama membuatku menoleh. “Kalau gak salah, golongan darahmu AB kan, Rain?” tanya mama padaku.

Benar juga. Aku baru ingat kalau golongan darahku juga AB, tapi aku tidak tahu rhesus-nya.

“Permisi, Mbak.” aku memanggil perawat yang sudah akan berlalu dari hadapan kami. Dia menghentikan langkahnya. “Apa aku bisa donorin darah buat Florence?” tanyaku menyebut nama asli Bunga sesuai dengan yang tertera di buku administrasi tadi.

“Golongan darah adek juga AB-?” tanya perawat itu tampak tergesa-gesa.

“Itu … aku belum tahu rhesus-nya, tapi golongan darahku AB.”

“Oke, kalau gitu kita coba ikut pemeriksaan dulu di laboratorium. Mari ikut saya.” Aku mengikuti perawat itu berjalan menuju ruang laboratorium rumah sakit.

Bismillah. Semoga aku bisa menolong Bunga.

oOo

Satu bulan kemudian.

Aku mengamati Bunga yang tampak fokus dengan lukisannya yang sepertinya hampir selesai. Lukisannya menggambarkan tentang taman bunga, dengan rintik hujan yang jatuh ke kelopak dan daun bunga.

“Bunga dan hujan… apa itu maksudnya aku dan kamu?” tanyaku iseng, tidak tahan dari tadi hanya diam saja.

Bunga hanya melirikku sekilas, tersenyum lalu kembali fokus dengan lukisannya.

“Aku benar-benar berterima kasih atas bantuan kamu waktu itu. Kamu pasti sudah kehilangan banyak darah.”

“Gak sebanyak darah yang kamu keluarin kan? Lagipula, guru Biologi-ku pernah bilang, kalau tubuh kita akan lebih sehat kalau kita donorin darah. Terus kita juga mendapat pahala karena bisa menolong orang yang membutuhkan. Iya kan? Ah, aku juga harus berterima kasih karena berkat kejadian itu, aku jadi tahu kalau golongan darahku juga AB-, sebelumnya aku tidak pernah peduli apa golongan darahku karena kupikir itu tidak penting. Ternyata aku salah.”

“Sekali lagi terima kasih.” katanya sambil menundukkan kepalanya sekilas.

“Sama-sama.” balasku, lalu kami tertawa.

“Lukisan ini buatmu, sebagai tanda persahabatan kita.” kata Bunga setelah melakukan finishing pada lukisannya.

“Terima kasih. Tapi aku akan lebih suka kalau kamu melukis sketsa wajahku.” kataku sambil menekan kedua pipiku dengan jari telunjuk tanganku.

“Dih, dasar narsis.” Bunga memutar bola matanya.

Aku terkekeh, lalu perhatianku tertuju pada pensil tumpul dan cutter yang tergeletak di sebuah meja kecil di depanku. Aku mengambil kedua benda itu dan mulai menajamkan pensil itu dengan cutter.

Masayu Florence Campbell, mulai saat ini, biarkan aku saja yang menajamkan pensilmu, gumamku dalam hati.


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar