Kamis, 26 Maret 2015

[CERPEN] Beauty and The Bear



          Apa kalimat itu tidak terdengar asing lagi? Atau kedengaran aneh? Yeah, itu memang julukan buatku dan saudara kembarku, Assyifa. Julukan itu adalah pelesetan dari sebuah film kartun; Beauty and The Beast.
Teman-teman kami yang memberi julukan itu. Tentu saja karena aku dan Syifa tidak bisa dibilang si Buruk Rupa (hwaa, narsis!), maka mereka mengganti kata ‘beast’ menjadi ‘bear’. Kata mereka, walaupun kembar, aku dan Syifa sangat jauh berbeda. Aku pikir juga begitu. Selain wajah, kepribadian kami tidak bisa dibilang sama.
          Syifa, sangat feminin. Hobinya berdandan, memasak, berburu aksesoris (yang menurutnya) imut dan segala hal yang girlie banget. Sedangkan aku, aku senang sekali olahraga, terutama sepakbola. Tidak bisa berdandan, senang memakai celana gombrong dan sandal gunung. Dan kalau Syifa suka memanjangkan kakinya dengan shopping, maka aku akan lebih memilih untuk hiking!
          Hal paling menonjol yang membuat orang lain sangat mudah mengenali kami adalah: aku mengenakan jilbab dan Syifa tidak (setidaknya belum untuk saat ini).
          Oh ya, mengenai julukan itu. Sebenarnya tanpa kujelaskan kalian sudah tahu kan siapa ‘Beauty’ dan siapa ‘The Bear’? dengan segala sifat yang melekat pada kami, dapat disimpulkan bahwa Assyifa adalah si ‘Beauty’ dan aku, Alifah adalah ‘The Bear’. Memangnya, siapa yang mau jadi beruang?
***
          Aku melirik lagi jam bintang di tangan kananku. Sudah menunjukkan pukul enam tiga lima. Aku sudah gelisah menunggu Syifa. Itu anak emang keong madu (aku tidak tega menjulukinya keong racun, ^_^) kali ya? Mandinya ya Alloh, lama banget!
          “Syif, woii! Buruan! Mandi kok lama banget. Lo mandi apa semedi sih di dalam?” aku berteriak entah untuk yang ke berapa kali.
          “Sabar, Lif. Gue lagi luluran!!” jawab Syifa enteng.
          Haiyaa, dia pikir dirinya putri keraton? Gila ya, mau sekolah sempat-sempatnya luluran. Mending kalau udah bangun sebelum mbah fajar menjemput, lha ini??
          “Syif, kalau lo nggak buruan, gue tinggal lo ntar!” ancamku sebal. Ingin rasanya aku mengganti lulurnya dengan lumpur Lapindo.
***
          Hampir saja kami telat gara-gara ulah si Keong Madu itu. Kami berhasil memasuki gerbang sekolah setelah berlari dari areal parkir yang jaraknya 500 m dari gerbang utama. Sekolah kami memang menerapkan peraturan ‘Bebas Asap’. Kata pak kepsek sih, buat meminimalisir pemanasan global. Walhasil, semua jenis kendaraan bermotor dilarang melewati gerbang utama karena akan menimbulkan polusi.
          Kalian tahu, begitu sampai di gerbang tadi, Syifa malah menyalahkan aku karena sudah mengajaknya berlari sampai ngos-ngosan. Bagiku sih biasa saja, tapi tidak ternyata untuk makhluk seperti dia. Hello, dia kira gara-gara siapa kami hampir telat?
***
          Saat jam istirahat, lima orang adik binaanku di rohis datang ke kelasku. Pada awal-awal perkenalan, hanya ada satu orang jilbaber di antara mereka. Tapi sekarang, alhamdulillah semuanya sudah mengenakan jilbab.
          “Kak Alifah, pernah gak sih kakak nasehatin kak Syifa biar nyadar nutup aurat juga?” celetuk Dinar -- yang lebih sering kupanggil Nardi tiba-tiba membuatku terdiam.
          “Eh, jangan-jangan kakak gak pernah nyoba ya ngedeketin kak Syifa? Lagian kan, dunia kakak dan kak Syifa berbeda. Jadi mungkin kakak mikirnya percuma aja ngomongin hal-hal beginian sama kak Syifa, ya kan?” kata-kata polos Nardi --maksudku Dinar  -- meghujam jantungku.
          Benarkah yang mereka katakan?
          Aku terlihat seperti itu di depan mereka? Aku sadar, selama ini aku begitu bersemangat dan begitu ingin mendedikasikan apa yang aku bisa buat kemajuan rohis dan juga adik binaanku. Jarang sekali aku ngobrol dengan Syifa. Di rumah pun sama saja. Rasanya, tidak ada yang perlu kami obrolkan. Karena aku yakin obrolan kami sama sekali  gak akan nyambung.
          Eh, tapi rasa-rasanya Syifa pernah bertanya padaku tentang jilbab. Saat itu aku baru pulang dari hiking dan capek banget. Jadi aku membentaknya dan berkata jangan bertanya-tanya padaku. Sejak itu dia tidak pernah bertanya-tanya apapun lagi padaku.
          “Mungkin .. aku juga yang salah,” gumamku pada diri sendiri.
***
          Hari libur akhir pekan.
          Biasanya kalau hari libur seperti ini, aku akan tidur kembali setelah sholat shubuh. Setelah itu bersiap-siap untuk latihan Pramuka pada pukul 10 pagi. Tapi, kali ini rasanya aku terbangun lebih cepat. Karena mendengar suara berisik. Begitu mataku terbuka sepenuhnya, kulihat Syifa sudah duduk di depan tv, menonton tv sambil berdandan. Aku melirik jam weker, sudah menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit.
          “Heh, gak salah nih jam weker?” tanyaku heran.
          “Kenapa?”
          “Udah jam berapa sih sekarang?”
          “Jam 6.11,” jawab Syifa, matanya tetap fokus menonton acara tv.
          “Aje gile.. sepagi ini udah ada aja acara gosip.” gumamku prihatin.
          “Hei, ini bukan gosip tapi fakta!” ralat Syifa.
          “Sama aja, ngomongin kejelekkan orang berarti ngegosip, Syifa. Mending juga nonton Spongebob.” usulku.
          “What? Inget umur dong lo! Masa’ udah 17 taun masih demen pelem anak TK?”
          “Emangnya kenapa? Gak ada aturannya kan? Yang ngebikinnya aja orang gede! Daripada elo nontonin aib orang. Mau panen dosa lo?” suaraku meninggi.
          Syifa tidak tampak merespon omonganku. Dia malah terlihat sibuk dengan alat-alat make upnya.
          “Kenapa lo sekarang? Ngeliatin gue kayak gitu? Mau gue dandanin?” Syifa benar-benar ingin membuatku muntah. Membayangkan benda warna-warni itu menempel di mukaku, melihatnya saja sudah membuat perutku mual.
          “Lo kok hobi banget sih dandan?” tanyaku, melancarkan jurus pendekatan seperti yang dibilang adik-adikku kemarin.
          “Lif, sebagai cewek, kita tuh kudu dandan. Biar cantik dan mempesona. Gak kayak lo, muka gak keurus, anak orang aja yang lo urus. Mana lo cuek lagi ama cowok. Gak aneh deh lo dikasih julukan ‘The Bear’.” Katanya sadis. Oo, sekarang dia bangga dengan gelar ilegalnya itu?
          “Selain itu,” Syifa menggantung kalimatnya.
          “Selain itu?” tanyaku membeo. Penasaran juga dengan celotehannya.
          “Kita dandan buat nutupin kekurangan muka, misalnya aja jerawat.”
          Aku mendengus keras.
          “Setahu gue, yang musti ditutupin tuh aurat deh, bukan jerawat!”
***
          Aku berantem dengan Syifa. Gara-garanya Syifa sengaja masukkin alat-alat make upnya ke dalam tas yang akan kubawa untuk berkemah  Jambore Nasional di Teluk Gelam, OI. Benar-benar kurang kerjaan banget sih dia!
          Oke. Sebenarnya bukan itu juga sih alasannya. Tadi sebelum berangkat, aku memaksanya memakai jilbab. Aku ingin sekali saja melihatnya berjilbab sebelum aku pergi. Horor sekali ya?
          Tapi sopo nyono, dia malah marah dan menganggap aku tidak menghormati hak asasinya dalam berpakaian. Bah, tahu apa dia tentang hak asasi?
***
          Hari ini aku pulang ke rumah. Malam terakhir di buper (bumi perkemahan), aku bermimpi melihat cerminku mengajakku bicara. Hah, kata orang kan mimpi itu adalah keinginan kita yang terpendam ya? Eh, tapi .. memangnya aku berharap bayanganku di cermin bisa bicara denganku?
          Aku mengetuk pintu rumahku sambil mengucapkan salam. Tak lama muncul Syifa sambil membukakan pintu. Aku merasa sesuatu yang aneh sedang terjadi.
          “Okaeri nasai (selamat datang)!” saat seperti ini berarti Syifa sedang senang. Dia akan mengeluarkan perbendaharaan kata bahasa Jepangnya jika suasana hatinya sedang senang. Dia pernah menjulukiku ‘Kuma’. Awalnya aku senang mendengarnya. Karena kupikir itu berarti cantik atau apalah. Setidaknya, ada satu orang di sekolah dan di rumah yang tidak menjulukiku ‘bear’ atau beruang. Tapi siapa sangka kalau kuma adalah bahasa Jepang untuk beruang?
          “Gimana penampilan baru gue?” tanyanya sambil memilin ujung jilbabnya yang lebar.
          Tunggu. Itu dia! Sejak kapan Syifa mengenakan jilbab?
          “Hehehe, lo pasti terperangah kan ngeliat gue makin cantik? Gue mutusin make’ jilbab dua hari setelah lo pergi. Abis berantem ama lo tuh, gue merenung seharian di dalam kamar. Mikirin kata-kata lo. And last, yeah, maafin gue ya kalau selama ini gue gak pernah dengerin omongan lo,” Syifa memelukku, membuat beban di bahuku bertambah. Aku bahkan belum meletakkan tasku. Ah, aku benci adegan romantis seperti ini.
          “Sebenarnya dari dalam hati udah ada keinginan sih buat make’ jilbab. Tapi, kalau gue pake pas lo ada di sini, gue takutnya ntar lo ngerasa menang karena udah berhasil ngebujuk gue. Gue gak mau Lif kayak gitu. Gue pengen kesadaran gue buat berjilbab itu murni dari diri gue sendiri. Bukan gak ngehargain usaha lo sih Lif, tapi lo tahu kan gue gak suka dipaksa-paksa. Lagian kan dari kecil gue juga udah tahu kalau jilbab itu berguna buat nutupin aurat kita. Biar kita makin terjaga aja.” Jelas Syifa membuatku ingin menangis.
          “Gu-gue juga minta maaf ya. Seharusnya gue lebih sabar dan tenang ngehadapin elo. Bukan malah mencak-mencak saat lo nanya sesuatu ama gue. Gue ngerasa bersalah banget Syif. Maafin gue juga ya?”
          Sesaat hening. Tidak ada satupun dari kami yang berbicara. Hanya detak jam dinding dan suara lolongan anjing tetangga yang terdengar (hei, kenapa jadi seperti film horor sih?). Cukup aneh sebenarnya, mengingat ini masih cukup pagi. Biasanya kan anjing melolong saat malam hari? Aku lalu menoleh ke rumah tetangga sebelah. Hmh, pantas saja anjingnya melolong, karena majikannya yang seperti werewolf (manusia serigala) itu pulang. Ah, apa-apaan sih aku? Kenapa malah memperhatikan anjing itu?
          “Jadi?” tanya Syifa menyadarkan lamunanku.
          “Kita harus benar-benar memperbaiki hubungan persaudara-kembaran ini. Dimulai dengan .. hmm, bagaimana kalau mulai menyamakan minat kita dan meleburnya menjadi satu?” usulnya ceria.
          Apa itu ide bagus? Oke, aku menghargai idenya itu. Tapi bisakah kau bayangkan kalau suatu saat kami harus shopping di tengah hutan? Apa yang bisa kami beli di sana? Atau kami harus berdandan sebelum bermain sepak bola?
          “Lif? Come on, gue kan juga pengen punya saudara kembar yang membuat gue seperti ngeliat bayangan gue di cermin. Maksud gue, bener-bener kembar. Tanpa ada perbedaan sifat yang mencolok. Dan biar gak ada lagi yang ngejulukin kita Beauty and the Bear, tapi jadi the Twins Beauty? Gimana?”
          Aku berpikir keras. Bukan sedang mempertimbangkan ide gilanya itu. Tapi memikirkan bagaimana cara menolaknya? Yeah, aku memang pernah bermimpi melihat bayanganku di cermin berbicara denganku. Tapi itu bukan berarti malah aku yang harus berubah seperti bayanganku! Dan mengenai julukan itu, entah mengapa rasanya aku sudah mulai nyaman dengan julukan awal. Kupikir Beauty and the Bear lebih pantas untuk kami. Dan aku yakin, teman-temanku di sekolah juga tidak akan mau secara senang hati memanggilku beauty, karena walaupun aku bukan beast, I’m not beauty!!



SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar