Kamis, 25 Februari 2016

[Cerpen] Jembatan Scorpio (sekuel Gerbang Orion)



Cerpen Gerbang Orion di sini ^^



-Kalajengking akan melenyapkan Sang Pemburu-

Lagi-lagi suara bisikan itu membangunkanku dari tidur. Aku mengambil posisi duduk di kasur, lalu mengambil segelas air putih dari atas nakas di samping tempat tidurku. Alunan Beethoven ‘Fur Elise’ masih terdengar pelan dari luar ruangan.

Ayah pasti masih terjaga.

Dengan pikiran itu, aku memutuskan untuk keluar kamar dan menemui ayah di ruang kerjanya. Pintu ruang kerja ayah terbuka lebar, jadi aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Belum tidur, Yah?” tanyaku basa-basi. Kulihat ayah tampak asik dengan teropong bintangnya, sambil mengamati langit malam dari balkon luar ruang kerjanya.

Ayah menoleh kaget padaku.

“Lho, Faith. Tumben masih belum tidur?”

Aku mengangkat bahu. “Barusan aku mimpi aneh. Ah, tapi sepertinya itu bukan mimpi, lebih terdengar seperti suara bisikan. Beberapa malam belakangan aku sering mendengar suara bisikan aneh.”

Ayah mengernyitkan dahinya. “Suara bisikan? Jangan-jangan kamu lupa berdoa sebelum tidur?”

Aku menggeleng. “Bukan itu masalahnya. Tapi entah kenapa, sejak kejadian di museum itu, aku sering mendengar suara bisikan yang sama berulang-ulang…” gumamku. Tapi karena tidak mau membuat ayah khawatir, aku lalu mengalihkan pembicaraan.

“Oh, aku tidak bisa melihat rasi bintang Orion!” seruku sambil menunjuk ke langit malam.

Ayah mengikuti arah pandangku, lalu menepuk bahuku.

“Tentu saja. Sekarang kan saatnya Orion baru bisa terlihat di waktu shubuh.”

Aku menatap kagum ayah.

“Sepertinya ayah tahu banyak tentang astronomi.”

Ayah tersenyum lebar. “Astronomi adalah obsesi ayah ketika masih kecil. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi arsitek dan sekarang walikota.”

***

Ayah mengajakku menemui kak Tristan, seorang kurator  museum di kotaku. Sebenarnya aku juga sudah lama penasaran bagaimana ayah dan kak Tristan saling kenal padahal aku nyaris tidak pernah melihat mereka saling bertegur sapa.

“Sepertinya ayah memang harus menceritakan sebuah rahasia di sini,” kata ayah, membuka percakapan sore itu. “Tentang sebuah peristiwa yang tidak bisa ayah lupakan, yang terjadi belasan tahun lalu…”

Mengalirlah cerita itu dari ayah. Ketika aku masih berumur 5 tahun, aku pernah menghilang selama 12 hari. Lalu ditemukan di sebuah taman (yang sekarang menjadi lahan SMA-ku), bersama seorang anak laku-laki berusia sekitar 8 tahunan yang amnesia. Anak laki-laki itu membawa gulungan kertas yang merupakan lukisan rasi Orion. Ayah menyerahkan anak itu ke Dinas Sosial karena prosedur pengadopsian anak sangat rumit saat itu. Terlebih anak itu mengalami amnesia. Ayah perlahan-lahan membangun akademi pendidikan di lahan itu dan menyimpan lukisan rasi Orion di sana. Ayah baru memberikan lukisan itu kepada anak laki-laki yang sekarang kukenal sebagai kak Tristan, setelah ingatan kak Tristan kembali.

Ayah juga menambahkan bahwa sebelum kejadian itu, aku sudah lancar membaca dan menulis huruf latin. Disleksia-ku baru muncul setelah kejadian itu. Ironis.


Aku pamit pada ayah dan kak Tristan untuk pergi ke kamar kecil. Aku berjalan melewati aula pameran seni lukis untuk menuju kamar kecil. Perhatianku lalu terpaku pada lukisan Rasi Bintang Orion yang ada di deretan terakhir koleksi seni lukis museum ini. Aku mengamatinya lebih dekat karena sesuatu seperti tulisan terlihat samar di bagian bawah lukisan itu. Lukisan itu juga tampak lebih kusam dari biasanya, padahal baru tadi pagi aku melihat kak Tristan membersihkannya.

Kuusap tulisan itu menggunakan sapu tanganku, sekedar untuk menyingkirkan debunya. Aku sangat sensitif dengan kebersihan dan kerapian karena asmaku. Bahkan saking sensitifnya, dokter yang menanganiku bilang bahwa aku hampir saja mengalami gejala OCD (Obsessive Compulsive Disorder).

Tulisan yang kuusap tiba-tiba berbolak-balik tak beraturan. Perlahan, huruf-huruf dalam alfabet Yunani muncul semakin jelas membentuk sebuah kalimat. Ketika kupikir aku (tentu saja) tidak mampu membacanya, ternyata aku malah bisa mengartikannya ke dalam bahasa keseharianku.

-Kalajengking akan melenyapkan Sang Pemburu-

Detik berikutnya, tubuhku seolah tersedot masuk (kembali) ke lukisan itu.

***

Aku berada di sebuah bangunan yang langsung aku kenali sebagai Parthenon. Kali ini, sepertinya aku berhasil membaur dengan rakyat Athena karena tidak ada seorangpun yang memperhatikanku seperti sebelumnya. Semua tampak terfokus pada bagian tengah aula Parthenon, di mana seorang pria tua yang wajahnya familiar ada di sana, dengan kedua tangan yang diikat di sebuah kursi. Itu Tuan Plato.

Beberapa orang di sekitarku berbisik-bisik.

“Benar-benar mustahil seorang Guru Besar seperti Tuan Plato melakukan pengkhianatan.”

“Tapi bukti-bukti memang mengarah padanya.”

“Kaum pelajar tahu kalau Tuan Plato dekat dengan Pangeran Paris dari Troya. Pangeran Paris sangat pintar dan menjadi purid kesayangan Tuan Plato. Tapi kaum penguasa Troya menganggap kedekatan mereka sebagai upaya kudeta terhadap mereka.”

“Benar. Penguasa Troya sudah berlebihan menuduh Tuan Plato mengajari pangeran kecil itu melakukan kudeta.”

“Athena juga sangat lemah. Raja kita memilih untuk memenjarakan seorang Guru Besar seperti Tuan Plato demi menghindari perang.”

Aku mengigit-gigit bibirku, cemas mendengar percakapan mereka. Apakah hidup Tuan Plato benar-benar akan berakhir seperti itu? Seharusnya aku mengecek Wikipedia untuk mengetahui riwayat hidup Plato. Setidaknya untuk referensi, karena selama ini aku hanya mencari tahu tentang karya-karyanya.

Seseorang mencolek bahuku, membuatku menoleh padanya. Seorang berperawakan tinggi besar dengan fitur wajah tegas tersenyum padaku. Apa dia prajurit yang ditugaskan untuk menangkapku?

“Ikut aku jika tidak ingin bernasib yang sama dengan Tuan Plato.”

***

Orang itu, yang mengaku bernama Ares, membawaku ke sebuah jembatan. Dia juga mengaku kalau dirinya merupakan salah satu dari murid Tuan Plato, seperti Paris. Dia berkata bahwa Tuan Plato yang memberitahunya tentangku, termasuk juga tentang lukisan Rasi Bintang Orion itu.

Ares mengusap pagar pembatas jembatan, lalu menatapku seolah menilai. Perasaanku jadi tidak enak.

“Jembatan ini dibangun atas ide dari Guru Plato. Aku tahu  jika itu menyangkut Plato, pasti ada suatu rahasia di baliknya. Lalu aku mencari tahu hal itu. Akhirnya aku menemukan sebuah rahasia, bahwa selain lukisan itu, jembatan ini juga terhubung dengan dunia masa depan, dengan cara melukiskan bentuk rasi bintang Orion,” Ares menyeringai padaku. “Jadi aku ingin kau melukis bentuk rasi bintang Orion di jembatan ini, supaya aku bisa pergi ke dunia masa depan untuk menjemput Paris yang kau sembunyikan, lalu menjebloskannya ke penjara. Dengan begitu, aku akan diangkat menjadi panglima perang kerajaan Athena.”

“Kenapa bukan kau sendiri saja yang melukis—“

“Jangan memberi perintah padaku!” Ares mendekatkan mata pedangnya ke arah leherku. “Jalan rahasia hanya akan terbuka oleh seorang anak laki-laki dari belahan bumi selatan. Dan itu artinya KAU!”

Aku menatap Ares dengan mata bergetar takut.

Melihatku yang diam saja, Ares melemparkan sebuah kuas ke dekat kakiku. “Sekarang cepat lukiskan rasi bintang Orion, atau kau memilih untuk mengakhiri hidupmu di sini?!”

Dengan gemetar, aku mengambil kuas. Sambil berusaha memutar otak, memikirkan cara untuk menggagalkan rencana orang ini menangkap kak Tristan—maksudku Paris. Dan juga memikirkan bagaimana cara supaya aku bisa terhindar dari pedangnya. Tepat di saat aku akan mulai melukis, telingaku berdenging dan sekelebat percakapanku dengan ayah beberapa waktu lalu seolah terpampang jelas di depanku.

‘Apakah kau mau menceritakan mimpi atau juga suara bisikan yang mengganggumu itu pada Ayah?’

Aku menatap ayah, setelah ragu beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu ayah.

‘Ayah tahu sesuatu tentang ‘Kalajengking akan melenyapkan Sang Pemburu’?’

Kulihat ayah mengernyit. ‘Mungkin saja ayah salah, tapi kalimat itu mengingatkan ayah tentang sebuah kisah seorang pemburu hebat bernama Orion dalam mitologi Yunani. Kehebatannya tidak tertandingi siapapun. Dia selalu berhasil menumpas makhluk buas yang meresahkan orang-orang. Orion lalu menjadi sombong dan berkata bahwa tidak ada satupun yang bisa mengalahkannya di muka bumi ini. Lalu diutuslah Scorpio, si kalajengking raksasa untuk memberi pelajaran pada Orion. Scorpion berhasil membunuh Orion. Tapi karena Orion juga banyak berjasa menumpas makhluk-makhluk buas itu, dia diangkat menjadi salah satu rasi bintang. Scorpio juga akhirnya diangkat menjadi salah satu rasi bintang. Untuk menghindari pertarungan yang mungkin berlanjut di antara keduanya, kedua rasi bintang itu diletakkan berseberangan. Rasi Orion akan tenggelam dan tidak akan terlihat di langit malam jika Scorpio muncul.’

            “…”

“Hei! Kenapa diam saja? Cepat lukis rasi Orion jika kau masih saying dengan nyawamu!!” teriakan Ares mengagetkanku. Aku tidak yakin dia akan melepaskanku begitu saja, meski sudah berhasil menangkap Paris.

Tunggu. Kalau tidak salah, nama bintang paling terang di rasi bintang Scorpio adalah Antares yang berarti lawan dari bintang Ares (bintang merah). Jika… jika aku melukiskan rasi bintang Scorpion alih-alih Orion, apa yang akan terjadi?

-Kalajengking akan melenyapkan Sang Pemburu-

Bisikan itu kembali terdengar. Mungkinkah itu merupakan petunjuk yang harus aku ikuti?

Setelah mempertimbangkan matang-matang, aku memutuskan untuk melukiskan titik-titik imajiner rasi bintang Scorpio di jembatan itu. Ares tidak menyadarinya hingga aku menambahkan bintang Antares, tepat di jantung rasi bintang Scorpion.

“Hei, apa yang sudah kau lakukan?!” Ares berteriak marah. Tepat ketika aku menoleh ke arahnya, aku melihat Ares diserang secara brutal oleh seekor kalajengking raksasa.

Titik-titik imajiner rasi bintang Scorpio bersinar terang berwarna kemerahan. Untuk kesekian kalinya, tubuhku kembali terasa seperti tersedot.

***

“Faith. Faith!” samar-samar aku mendengar suara ayah. Lalu perlahan kubuka mata dan melihat ayah serta kak Tristan menatapku cemas.

“Tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali.” Ayah bertanya khawatir.

“Ayah… seseorang… mengejar Paris… kak Tristan…” aku berusaha menjelaskan situasi yang baru saja kualami dengan susah payah, membuat kedua orang di hadapanku ini saling berpandangan bingung.

Kak Tristan terdiam agak lama. Sementara ayah berusaha membantuku untuk kembali bernafas normal.

“Apa… seharusnya aku kembali saja ke Troya dan menyerahkan diri? Aku tidak ingin Faith terluka karena berusaha melindungiku. Kalau saja dulu—“

“Jangan bodoh, Tristan. Jangan biarkan hidupmu tenggelam dengan masa lalu, kau ada di masa sekarang, jadi hiduplah untuk sekarang dan juga besok. Aku tidak ingin mendengar lagi kalimat putus asa itu darimu. Kau adalah figur kakak yang baik bagi Faith. Pemuda berprestasi hebat kebanggaan kota ini. Faith membutuhkanmu. Kami membutuhkanmu!”

Kak Tristan menatap ayah, nampak tersentuh dengan kalimatnya. Ayah membuka kedua tangannya lalu merangkul kami berdua. “Ayah bangga memiliki kalian berdua.”

Aku membalas pelukan ayah erat. Entah berapa lama kami bertiga saling berpelukan di lantai museum itu. Hal yang membuat kami pada akhirnya melepaskan diri adalah suara menyebalkan yang kali ini bukan berupa bisikan, melainkan hasil proses pencernaan dan pengasaman dalam perutku.

Argh. Aku lupa kalau tadi aku berniat ke kamar kecil.

SELESAI.


Ujen 160224, 22.03 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar