-Kalajengking akan melenyapkan Sang Pemburu-
Lagi-lagi suara bisikan itu
membangunkanku dari tidur. Aku mengambil posisi duduk di kasur, lalu mengambil
segelas air putih dari atas nakas di samping tempat tidurku. Alunan Beethoven ‘Fur
Elise’ masih terdengar pelan dari luar ruangan.
Ayah pasti masih terjaga.
Dengan pikiran itu, aku memutuskan
untuk keluar kamar dan menemui ayah di ruang kerjanya. Pintu ruang kerja ayah
terbuka lebar, jadi aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Belum tidur, Yah?” tanyaku
basa-basi. Kulihat ayah tampak asik dengan teropong bintangnya, sambil
mengamati langit malam dari balkon luar ruang kerjanya.
Ayah menoleh kaget padaku.
“Lho, Faith. Tumben masih belum
tidur?”
Aku mengangkat bahu. “Barusan aku
mimpi aneh. Ah, tapi sepertinya itu bukan mimpi, lebih terdengar seperti suara
bisikan. Beberapa malam belakangan aku sering mendengar suara bisikan aneh.”
Ayah mengernyitkan dahinya. “Suara
bisikan? Jangan-jangan kamu lupa berdoa sebelum tidur?”
Aku menggeleng. “Bukan itu
masalahnya. Tapi entah kenapa, sejak kejadian di museum itu, aku sering
mendengar suara bisikan yang sama berulang-ulang…” gumamku. Tapi karena tidak
mau membuat ayah khawatir, aku lalu mengalihkan pembicaraan.
“Oh, aku tidak bisa melihat rasi bintang Orion!”
seruku sambil menunjuk ke langit malam.
Ayah mengikuti arah pandangku, lalu
menepuk bahuku.
“Tentu saja. Sekarang kan saatnya Orion baru bisa terlihat di waktu shubuh.”
Aku menatap kagum ayah.
“Sepertinya ayah tahu banyak
tentang astronomi.”
Ayah tersenyum lebar. “Astronomi
adalah obsesi ayah ketika masih kecil. Sebelum akhirnya memutuskan untuk
menjadi arsitek dan sekarang walikota.”
***
Ayah mengajakku menemui kak
Tristan, seorang kurator museum di
kotaku. Sebenarnya aku juga sudah lama penasaran bagaimana ayah dan kak Tristan
saling kenal padahal aku nyaris tidak pernah melihat mereka saling bertegur
sapa.
“Sepertinya ayah memang harus menceritakan
sebuah rahasia di sini,” kata ayah, membuka percakapan sore itu. “Tentang
sebuah peristiwa yang tidak bisa ayah lupakan, yang terjadi belasan tahun lalu…”
Mengalirlah cerita itu dari ayah. Ketika
aku masih berumur 5 tahun, aku pernah menghilang selama 12 hari. Lalu ditemukan
di sebuah taman (yang sekarang menjadi lahan SMA-ku), bersama seorang anak
laku-laki berusia sekitar 8 tahunan yang amnesia. Anak laki-laki itu membawa
gulungan kertas yang merupakan lukisan rasi Orion. Ayah menyerahkan anak itu ke
Dinas Sosial karena prosedur pengadopsian anak sangat rumit saat itu. Terlebih
anak itu mengalami amnesia. Ayah perlahan-lahan membangun akademi pendidikan di
lahan itu dan menyimpan lukisan rasi Orion di sana. Ayah baru memberikan
lukisan itu kepada anak laki-laki yang sekarang kukenal sebagai kak Tristan,
setelah ingatan kak Tristan kembali.
Ayah juga menambahkan bahwa sebelum
kejadian itu, aku sudah lancar membaca dan menulis huruf latin. Disleksia-ku
baru muncul setelah kejadian itu. Ironis.
Aku pamit pada ayah dan kak Tristan
untuk pergi ke kamar kecil. Aku berjalan melewati aula pameran seni lukis untuk
menuju kamar kecil. Perhatianku lalu terpaku pada lukisan Rasi Bintang Orion
yang ada di deretan terakhir koleksi seni lukis museum ini. Aku mengamatinya
lebih dekat karena sesuatu seperti tulisan terlihat samar di bagian bawah
lukisan itu. Lukisan itu juga tampak lebih kusam dari biasanya, padahal baru
tadi pagi aku melihat kak Tristan membersihkannya.
Kuusap tulisan itu menggunakan sapu
tanganku, sekedar untuk menyingkirkan debunya. Aku sangat sensitif dengan
kebersihan dan kerapian karena asmaku. Bahkan saking sensitifnya, dokter yang
menanganiku bilang bahwa aku hampir saja mengalami gejala OCD (Obsessive Compulsive Disorder).
Tulisan yang kuusap tiba-tiba
berbolak-balik tak beraturan. Perlahan, huruf-huruf dalam alfabet Yunani muncul
semakin jelas membentuk sebuah kalimat. Ketika kupikir aku (tentu saja) tidak
mampu membacanya, ternyata aku malah bisa mengartikannya ke dalam bahasa
keseharianku.
-Kalajengking akan melenyapkan Sang Pemburu-
Detik berikutnya, tubuhku seolah
tersedot masuk (kembali) ke lukisan itu.
***
Aku berada di sebuah bangunan yang
langsung aku kenali sebagai Parthenon. Kali ini, sepertinya aku berhasil
membaur dengan rakyat Athena karena tidak ada seorangpun yang memperhatikanku
seperti sebelumnya. Semua tampak terfokus pada bagian tengah aula Parthenon, di
mana seorang pria tua yang wajahnya familiar ada di sana, dengan kedua tangan
yang diikat di sebuah kursi. Itu Tuan Plato.
Beberapa orang di sekitarku
berbisik-bisik.
“Benar-benar mustahil seorang Guru
Besar seperti Tuan Plato melakukan pengkhianatan.”
“Tapi bukti-bukti memang mengarah
padanya.”
“Kaum pelajar tahu kalau Tuan Plato
dekat dengan Pangeran Paris dari Troya. Pangeran Paris sangat pintar dan
menjadi purid kesayangan Tuan Plato. Tapi kaum penguasa Troya menganggap
kedekatan mereka sebagai upaya kudeta terhadap mereka.”
“Benar. Penguasa Troya sudah
berlebihan menuduh Tuan Plato mengajari pangeran kecil itu melakukan kudeta.”
“Athena juga sangat lemah. Raja
kita memilih untuk memenjarakan seorang Guru Besar seperti Tuan Plato demi
menghindari perang.”
Aku mengigit-gigit bibirku, cemas
mendengar percakapan mereka. Apakah hidup Tuan Plato benar-benar akan berakhir
seperti itu? Seharusnya aku mengecek Wikipedia untuk mengetahui riwayat hidup
Plato. Setidaknya untuk referensi, karena selama ini aku hanya mencari tahu
tentang karya-karyanya.
Seseorang mencolek bahuku,
membuatku menoleh padanya. Seorang berperawakan tinggi besar dengan fitur wajah
tegas tersenyum padaku. Apa dia prajurit yang ditugaskan untuk menangkapku?
“Ikut aku jika tidak ingin bernasib
yang sama dengan Tuan Plato.”
***
Orang itu, yang mengaku bernama
Ares, membawaku ke sebuah jembatan. Dia juga mengaku kalau dirinya merupakan
salah satu dari murid Tuan Plato, seperti Paris. Dia berkata bahwa Tuan Plato
yang memberitahunya tentangku, termasuk juga tentang lukisan Rasi Bintang Orion
itu.
Ares mengusap pagar pembatas
jembatan, lalu menatapku seolah menilai. Perasaanku jadi tidak enak.
“Jembatan ini dibangun atas ide
dari Guru Plato. Aku tahu jika itu
menyangkut Plato, pasti ada suatu rahasia di baliknya. Lalu aku mencari tahu
hal itu. Akhirnya aku menemukan sebuah rahasia, bahwa selain lukisan itu,
jembatan ini juga terhubung dengan dunia masa depan, dengan cara melukiskan
bentuk rasi bintang Orion,” Ares menyeringai padaku. “Jadi aku ingin kau
melukis bentuk rasi bintang Orion di jembatan ini, supaya aku bisa pergi ke
dunia masa depan untuk menjemput Paris yang kau sembunyikan, lalu
menjebloskannya ke penjara. Dengan begitu, aku akan diangkat menjadi panglima
perang kerajaan Athena.”
“Kenapa bukan kau sendiri saja yang
melukis—“
“Jangan memberi perintah padaku!”
Ares mendekatkan mata pedangnya ke arah leherku. “Jalan rahasia hanya akan
terbuka oleh seorang anak laki-laki dari belahan bumi selatan. Dan itu artinya
KAU!”
Aku menatap Ares dengan mata
bergetar takut.
Melihatku yang diam saja, Ares
melemparkan sebuah kuas ke dekat kakiku. “Sekarang cepat lukiskan rasi bintang
Orion, atau kau memilih untuk mengakhiri hidupmu di sini?!”
Dengan gemetar, aku mengambil kuas.
Sambil berusaha memutar otak, memikirkan cara untuk menggagalkan rencana orang
ini menangkap kak Tristan—maksudku Paris. Dan juga memikirkan bagaimana cara
supaya aku bisa terhindar dari pedangnya. Tepat di saat aku akan mulai melukis,
telingaku berdenging dan sekelebat percakapanku dengan ayah beberapa waktu lalu
seolah terpampang jelas di depanku.
‘Apakah
kau mau menceritakan mimpi atau juga suara bisikan yang mengganggumu itu pada
Ayah?’
Aku
menatap ayah, setelah ragu beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk
memberitahu ayah.
‘Ayah
tahu sesuatu tentang ‘Kalajengking akan melenyapkan Sang Pemburu’?’
Kulihat
ayah mengernyit. ‘Mungkin saja ayah salah, tapi kalimat itu mengingatkan ayah
tentang sebuah kisah seorang pemburu hebat bernama Orion dalam mitologi Yunani.
Kehebatannya tidak tertandingi siapapun. Dia selalu berhasil menumpas makhluk
buas yang meresahkan orang-orang. Orion lalu menjadi sombong dan berkata bahwa
tidak ada satupun yang bisa mengalahkannya di muka bumi ini. Lalu diutuslah
Scorpio, si kalajengking raksasa untuk memberi pelajaran pada Orion. Scorpion
berhasil membunuh Orion. Tapi karena Orion juga banyak berjasa menumpas
makhluk-makhluk buas itu, dia diangkat menjadi salah satu rasi bintang.
Scorpio juga akhirnya diangkat menjadi salah satu rasi bintang. Untuk
menghindari pertarungan yang mungkin berlanjut di antara keduanya, kedua rasi
bintang itu diletakkan berseberangan. Rasi Orion akan tenggelam dan tidak akan
terlihat di langit malam jika Scorpio muncul.’
“…”
“Hei! Kenapa diam saja? Cepat lukis
rasi Orion jika kau masih saying dengan nyawamu!!” teriakan Ares mengagetkanku.
Aku tidak yakin dia akan melepaskanku begitu saja, meski sudah berhasil
menangkap Paris.
Tunggu. Kalau tidak salah, nama
bintang paling terang di rasi bintang Scorpio adalah Antares yang berarti
lawan dari bintang Ares (bintang merah). Jika… jika aku melukiskan rasi bintang
Scorpion alih-alih Orion, apa yang akan terjadi?
-Kalajengking akan melenyapkan Sang Pemburu-
Bisikan itu kembali terdengar. Mungkinkah
itu merupakan petunjuk yang harus aku ikuti?
Setelah mempertimbangkan
matang-matang, aku memutuskan untuk melukiskan titik-titik imajiner rasi
bintang Scorpio di jembatan itu. Ares tidak menyadarinya hingga aku
menambahkan bintang Antares, tepat di jantung rasi bintang Scorpion.
“Hei, apa yang sudah kau lakukan?!”
Ares berteriak marah. Tepat ketika aku menoleh ke arahnya, aku melihat Ares
diserang secara brutal oleh seekor kalajengking raksasa.
Titik-titik imajiner rasi bintang
Scorpio bersinar terang berwarna kemerahan. Untuk kesekian kalinya, tubuhku
kembali terasa seperti tersedot.
***
“Faith. Faith!” samar-samar aku
mendengar suara ayah. Lalu perlahan kubuka mata dan melihat ayah serta kak
Tristan menatapku cemas.
“Tidak apa-apa? Wajahmu pucat
sekali.” Ayah bertanya khawatir.
“Ayah… seseorang… mengejar Paris…
kak Tristan…” aku berusaha menjelaskan situasi yang baru saja kualami dengan
susah payah, membuat kedua orang di hadapanku ini saling berpandangan bingung.
Kak Tristan terdiam agak lama. Sementara
ayah berusaha membantuku untuk kembali bernafas normal.
“Apa… seharusnya aku kembali saja
ke Troya dan menyerahkan diri? Aku tidak ingin Faith terluka karena berusaha
melindungiku. Kalau saja dulu—“
“Jangan bodoh, Tristan. Jangan
biarkan hidupmu tenggelam dengan masa lalu, kau ada di masa sekarang, jadi
hiduplah untuk sekarang dan juga besok. Aku tidak ingin mendengar lagi kalimat
putus asa itu darimu. Kau adalah figur kakak yang baik bagi Faith. Pemuda
berprestasi hebat kebanggaan kota ini. Faith membutuhkanmu. Kami membutuhkanmu!”
Kak Tristan menatap ayah, nampak tersentuh
dengan kalimatnya. Ayah membuka kedua tangannya lalu merangkul kami berdua. “Ayah
bangga memiliki kalian berdua.”
Aku membalas pelukan ayah erat. Entah
berapa lama kami bertiga saling berpelukan di lantai museum itu. Hal yang
membuat kami pada akhirnya melepaskan diri adalah suara menyebalkan yang kali
ini bukan berupa bisikan, melainkan hasil proses pencernaan dan pengasaman
dalam perutku.
Argh. Aku lupa kalau tadi aku
berniat ke kamar kecil.
SELESAI.
Ujen 160224, 22.03 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar