Orang bilang aku aneh. Anak bodoh. Cacat
otak. Idiot. Dan berbagai julukan tidak mengenakan lainnya. Mereka
mempertanyakan keberadaanku berada di SMA elit ini, karena menurut mereka
seharusnya aku lebih cocok berada di sekolah berkebutuhan khusus. Aku juga
tidak tahu apa alasan ayah memasukkanku ke sekolah ini. Tidak tahu dan tidak
akan mencari tahu.
“Bagaimana kamu menjalani
hari-harimu di sekolah dengan disleksia[1] itu?”
tanya kak Tristan, seorang kakak kenalanku yang bekerja sebagai kurator di
sebuah museum seni lukis di kotaku.
“Aku mengerjakan semua tugas
dibantu seseorang yang dipekerjakan khusus oleh ayah. Merekam semua pelajaran
di sekolah, jadi aku bisa mengikuti semua pelajaran tanpa harus menulis atau
juga membaca,” jelasku sambil menelusuri setiap lukisan yang ada.
“”Karena kamu kaya dan ayahmu itu
orang yang berpengaruh di kota ini, jadi sepertinya kamu tidak mengalami
kesulitan di sekolah ya?”
Aku menggeleng, “Salah besar! Aku
dikucilkan oleh sebagian besar teman-temanku. Mereka menganggapku aneh dan
bodoh karena tidak bisa membaca tulisan.”
Kak Tristan menatapku, terlihat
prihatin dengan keadaanku, “Kau tahu, Faith. Orang yang mengidap disleksia sebenarnya
adalah orang yang jenius, atau juga memiliki tingkat intelegensi di atas
rata-rata. Ada banyak orang terkenal yang juga mengalami disleksia, seperti
Albert Einstein dan juga Orlando Bloom. Ah, dan juga tokoh fiksi Percy Jackson
yang malah menjadi tokoh pahlawan dengan disleksia.”
“Terima kasih sudah menyebutkan
nama Percy Jackson. Dia adalah pahlawanku.” kataku sambil tersenyum lebar,
membuat kak Tristan menaikkan sebelah alisnya. “Penulisnya, maksudku.”
Kak Tristan tertawa kecil. Lalu dia
melirik sesuatu yang sejak tadi kubawa. Sebuah pigura. “Apa itu?” tanyanya
penasaran.
Aku mengikuti arah pandangnya, lalu
membuka bungkusan kertas yang menutupi pigura berukuran 1x1 meter itu. “Ayah
menyuruhku mencarinya di gudang sekolah dan membawakannya untukmu. Kukira kau
lebih tahu dariku,” jelasku sambil menyerahkan pigura berisi lukisan abstrak
itu kepadanya.
Kak Tristan mengamati lukisan itu
agak lama.
“Sudah lama tidak melihat lukisan
ini,” gumamnya, lalu menggantung lukisan itu di bagian paling ujung ruangan
itu.
“Kau benar-benar tahu sesuatu
tentang lukisan ini?” tanyaku tertarik.
“Begitulah,” jawabnya santai,
matanya tidak lepas dari lukisan abstrak itu.
Kuamati lagi lukisan itu. Aku
sampai memicingkan mata, berusaha menemukan apa saja yang mungkin bisa
kujadikan petunjuk. Tidak mungkin kan ayahku memberikan begitu saja lukisan
abstrak ini pada kak Tristan?
“Ada apa?” tanyanya.
“Sepertinya… mungkin ini hanya
perasaanku saja sih, tapi sepertinya aku bisa mengenali sebuah rasi bintang di
lukisan ini. Rasi Orion?”
“Benarkah? Coba tunjukkan padaku.”
Aku menunjuk dengan jariku,
menggabungkan titik-titik bintang yang membentuk rasi bintang Orion. Lihat, aku
bahkan bisa mengenali bintang Betelgusa, bintang paling terang yang ada di rasi
bintang itu.
“Lihat kan? Orion!” seruku
bersemangat. Kak Tristan menanggapinya dengan senyum.
Dan tiba-tiba saja, titik-titik
yang baru saja kuhubungkan menjadi rasi bintang Orion itu mendadak bersinar
terang dan menyilaukan. Detik berikutnya, aku seperti tersedot ke dalam lukisan
itu dan terlempar ke tempat asing.
***
Orang-orang di sekelilingku
menatapku dengan heran. Dan aku langsung tahu kenapa. Itu karena caraku berpakaian
yang sangat berbeda dengan mereka. Aku masih mengenakan seragam sekolahku,
sementara orang-orang itu hanya mengenakan kain putih yang dibentuk sedemikian
rupa. Seperti pakaian yang dipakai di lukisan tentang mitologi Yunani kuno…
“Nak, jangan berdiri di tengah
jalan!” seseorang mengagetkanku. Aku yakin sekali barusan dia bicara dengan
bahasa yang berbeda dengan bahasa keseharianku, tapi entah kenapa aku tidak
mengalami kesulitan memahami kalimatnya.
Aku berbalik dan mendapati seorang
pria paruh baya, dengan janggut lebat berwarna putih-perak berdiri di depanku. Dengan
bingung, kuamati bangunan-bangunan di sekitar tempat itu dan menemukan banyak
toko dengan tulisan-tulisan yang sering kujumpai di pelajaran Fisika. Alpha,
beta, gamma…?
“Kau baik-baik saja? Wajahmu sangat
pucat,” tanya pria paruh baya itu, sambil menuntunku ke pinggir jalan.
Aku merogoh kantong celanaku,
mengeluarkan inhaler yang biasa kuhirup jika asmaku kambuh.
“Apa aku… sedang berada di Yunani?”
tanyaku setelah merasa serangan asmaku reda.
Pria itu mengangguk, “Anak
laki-laki sepertimu, berpakaian aneh seperti ini, pastinya kau bukan berasal
dari daerah manapun di dekat sini. Apa kau berasal dari belahan bumi selatan?”
Aku membelalakkan mata, bagaimana
harus menjawabnya?
“Apa kau tersesat?”
Lebih
tepatnya tersedot dari sebuah lukisan. Jika aku menjawab
seperti itu, apakah orang ini akan percaya?
“Dari manapun kau berasal, lebih baik
segera tinggalkan tempat ini. Athena sedang dalam bahaya. Orang-orang Troya
akan menyerang kota ini. Athena tidak punya harapan.”
Troya? Athena? Aku mengamati
lekat-lekat pria paruh baya di hadapanku ini, rasa-rasanya wajah itu familiar. Apakah
aku aneh kalau mengira orang ini…
“Anda Plato?”
Gantian pria tua itu kaget. Dia
memegang lenganku, mengawasi sekeliling lalu bicara dengan suara yang nyaris
seperti bisikan.
“Kau mengenaliku? Apakah kau
mata-mata dari Troya?”
“Bukan, aku tidak tahu apa-apa soal
Troya ataupun Athena. Yang aku tahu, tiba-tiba saja aku sudah ada di sini. Aku
sangat ingin pulang tapi aku tidak tahu bagaimana caranya,” jelasku membela
diri.
Melihat pria tua itu diam saja,
membuatku menjadi makin yakin dia benar-benar Plato.
“Ternyata kau benar-benar datang…”
gumamnya agak lama kemudian, membuatku mengerutkan dahi.
“Anda yang menuliskan kisah tentang
Perang Troya kan? Jadi perang itu benar-benar ada? Bukan khayalan Anda saja tentang
kisah dewa-dewa Yunani—“
“Tolong, segera tinggalkan tempat
ini. Demi keselamatanmu.” Plato mengeluarkan sesuatu dari tas kainnya. “Ini,
selamatkan juga lukisanku satu ini. Jika kau bertemu seseorang yang mengenali
lukisan ini, bawa dia bersamamu. Kau mengerti?”
***
Aku terus berlari tanpa tujuan
pasti. Beberapa kali, aku hampir tertangkap oleh pasukan bersenjata yang aku
pikir merupakan prajurit Athena, atau juga Troya, aku tidak tahu. Di sebuah
hutan tepian sungai, tiba-tiba aku terjatuh karena tersandung sesuatu.
Begitu menyadari bahwa sesuatu itu
adalah seseorang, aku sempat kaget. Orang itu terlihat kesulitan bernafas dan
tangan kirinya terluka. Aku ragu-ragu mendekatinya, tapi detik berikutnya aku
tersadar bahwa orang ini berada dalam bahaya.
Kuberikan inhaler itu padanya,
mencontohkan cara memakainya dan dia langsung menurutinya tanpa banyak tanya. Beberapa
saat kemudian, pernafasannya kembali normal.
“Terima kasih,” katanya dengan nada
pelan. Dia mengamatiku beberapa saat, lalu tersenyum. “Aku Paris, Pangeran dari
Troya.”
Jantungku terasa copot. Dia…
seorang pangeran dari Troya? Apa dia ke sini untuk menyerang Athena? Tapi,
kenapa dia terpisah dari pasukannya?
“Kau tidak mau memperkenalkan
namamu? Aku merasa tersinggung,” gerutunya.
“A-aku Faith,” aku menyodorkan
tangan untuk beralaman, Paris menatapku heran. Semakin kuamati wajahnya, kenapa
malah semakin mirip kak Tristan?
Paris sepertinya tidak mengerti
cara bersalamanku, lalu mengalihkan perhatiannya pada gulungan yang kubawa.
“Sepertinya aku mengenali gulungan
itu,” ketusnya dengan nada seorang raja bicara pada rakyat jelata. Superior.
Detik berikutnya aku tersadar. Tuan
Plato bilang, jika ada seseorang yang mengenali lukisan ini, maka dia harus
kubawa pergi, kan? Jadi, apa orang yang dimaksud adalah pangeran ini? Pangeran
dari negeri musuh?
Paris menarik gulungan itu dariku,
lalu membentangkannya ke udara. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Guru Plato… ternyata kau tidak
bohong. Kau tetap menyimpan lukisan ini untukku…selama ini kau selalu setia
menjagaku…”
“Kau kenal dengan Tuan Plato? Bagaimana
bisa?”
Paris menoleh padaku. “Selama ini
aku diam-diam berguru dengannya. Ayahku tahu, lalu mengira Guru Plato sudah
mengajariku melakukan kudeta. Kerajaan kami memutuskan memberi pelajaran pada
Athena, dan guru menyuruhku kabur ke sini. Dia bilang seseorang akan datang
menyelamatkanku dan juga lukisanku.”
“…”
“Jadi, bagaimana cara kau
menyelamatkanku?” tanyanya.
“Kalau aku tahu, sudah dari tadi
aku melakukannya.”
Paris kembali mengamatiku. “Melihat
penampilanmu, aku yakin kau bukan berasal dari Athena ataupun Troya. Bagaimana
caramu ke sini?”
Aku berpikir keras. Dan tiba-tiba
seperti mendapatkan pencerahan, aku mengambil lukisan itu dari tangan Paris
lalu merentangkannya ke udara.
“Hei, coba kau pegang lukisan ini,”
kataku sambil menarik Paris dengan satu tangan, sementara tangan lain tetap
memegang lukisan itu. Paris akhirnya bisa berdiri dengan susah payah, lalu
memegang lukisan itu seperti perintahku.
Aku mulai menghubungkan titik-titik
lukisan itu menjadi bentuk rasi bintang Orion. Tak lama kemudian, sebuah cahaya
biru terang kembali muncul dan membutakan mata sesaat. Tubuhku kembali terasa
seperti tersedot.
***
Begitu membuka mata, aku sudah
kembali berada di museum. Di sebelahku, kak Tristan dengan rajin membersihkan
pigura kaca lukisan menggunakan lap dan juga cairan pembersih. Aku baru menyadari ada bekas luka di tangan kirinya.
“Apa kau memang Paris?” tanyaku
spontan, membuat kak Tristan menoleh sambil tersenyum misterius.
“Terima kasih, sudah menemukan
lukisan ini.” Lalu dia kembali melanjutkan pekerjaannya.
SELESAI
Prabumulih, 27 Januari 2016, 22.10
WIB.
Ujen.
Etdah hyung, ado postingan baru idk ngasi tau aku -_- *ngambek*
BalasHapusSeperti biasa, aku selalu menikmati tulisan2 mu hyung.
Dapat inspirasi dr mno, tetibo bae bikin cerito tentang mitologi Yunani cak ini ??? :3
Bhakkss, maaf.. maaf lupo. Tadinyo cerpen ini buat lomba cerpen fantasi antar anggota FLP Prabumulih. Kebetulan hyung lagi seneng ttg mitologi Yunani gegara Percy Jackson dan jugo lah mayan lamo sih seneng ttg astronomi cak itu. Jadi dapet idenyo dari sano. Alhamdulillah sih menang :D
HapusMokasih yo lah jadi reader baek dan setia di blog hyung. Beraso nian dukungannyo :3
In syaa Alloh hyung nak bikin sekuelnyo gegara katonyo banyak anggota FLP Prabu yg pengen baco *uhuk*