Kamis, 18 Februari 2016

[Cerpen] Gerbang Orion





Orang bilang aku aneh. Anak bodoh. Cacat otak. Idiot. Dan berbagai julukan tidak mengenakan lainnya. Mereka mempertanyakan keberadaanku berada di SMA elit ini, karena menurut mereka seharusnya aku lebih cocok berada di sekolah berkebutuhan khusus. Aku juga tidak tahu apa alasan ayah memasukkanku ke sekolah ini. Tidak tahu dan tidak akan mencari tahu.

“Bagaimana kamu menjalani hari-harimu di sekolah dengan disleksia[1] itu?” tanya kak Tristan, seorang kakak kenalanku yang bekerja sebagai kurator di sebuah museum seni lukis di kotaku.

“Aku mengerjakan semua tugas dibantu seseorang yang dipekerjakan khusus oleh ayah. Merekam semua pelajaran di sekolah, jadi aku bisa mengikuti semua pelajaran tanpa harus menulis atau juga membaca,” jelasku sambil menelusuri setiap lukisan yang ada.

“”Karena kamu kaya dan ayahmu itu orang yang berpengaruh di kota ini, jadi sepertinya kamu tidak mengalami kesulitan di sekolah ya?”

Aku menggeleng, “Salah besar! Aku dikucilkan oleh sebagian besar teman-temanku. Mereka menganggapku aneh dan bodoh karena tidak bisa membaca tulisan.”

Kak Tristan menatapku, terlihat prihatin dengan keadaanku, “Kau tahu, Faith. Orang yang mengidap disleksia sebenarnya adalah orang yang jenius, atau juga memiliki tingkat intelegensi di atas rata-rata. Ada banyak orang terkenal yang juga mengalami disleksia, seperti Albert Einstein dan juga Orlando Bloom. Ah, dan juga tokoh fiksi Percy Jackson yang malah menjadi tokoh pahlawan dengan disleksia.”

“Terima kasih sudah menyebutkan nama Percy Jackson. Dia adalah pahlawanku.” kataku sambil tersenyum lebar, membuat kak Tristan menaikkan sebelah alisnya. “Penulisnya, maksudku.”

Kak Tristan tertawa kecil. Lalu dia melirik sesuatu yang sejak tadi kubawa. Sebuah pigura. “Apa itu?” tanyanya penasaran.

Aku mengikuti arah pandangnya, lalu membuka bungkusan kertas yang menutupi pigura berukuran 1x1 meter itu. “Ayah menyuruhku mencarinya di gudang sekolah dan membawakannya untukmu. Kukira kau lebih tahu dariku,” jelasku sambil menyerahkan pigura berisi lukisan abstrak itu kepadanya.

Kak Tristan mengamati lukisan itu agak lama.

“Sudah lama tidak melihat lukisan ini,” gumamnya, lalu menggantung lukisan itu di bagian paling ujung ruangan itu.

“Kau benar-benar tahu sesuatu tentang lukisan ini?” tanyaku tertarik.

“Begitulah,” jawabnya santai, matanya tidak lepas dari lukisan abstrak itu.

Kuamati lagi lukisan itu. Aku sampai memicingkan mata, berusaha menemukan apa saja yang mungkin bisa kujadikan petunjuk. Tidak mungkin kan ayahku memberikan begitu saja lukisan abstrak ini pada kak Tristan?

“Ada apa?” tanyanya.

“Sepertinya… mungkin ini hanya perasaanku saja sih, tapi sepertinya aku bisa mengenali sebuah rasi bintang di lukisan ini. Rasi Orion?”

“Benarkah? Coba tunjukkan padaku.”

Aku menunjuk dengan jariku, menggabungkan titik-titik bintang yang membentuk rasi bintang Orion. Lihat, aku bahkan bisa mengenali bintang Betelgusa, bintang paling terang yang ada di rasi bintang itu.

“Lihat kan? Orion!” seruku bersemangat. Kak Tristan menanggapinya dengan senyum.

Dan tiba-tiba saja, titik-titik yang baru saja kuhubungkan menjadi rasi bintang Orion itu mendadak bersinar terang dan menyilaukan. Detik berikutnya, aku seperti tersedot ke dalam lukisan itu dan terlempar ke tempat asing.


***

Orang-orang di sekelilingku menatapku dengan heran. Dan aku langsung tahu kenapa. Itu karena caraku berpakaian yang sangat berbeda dengan mereka. Aku masih mengenakan seragam sekolahku, sementara orang-orang itu hanya mengenakan kain putih yang dibentuk sedemikian rupa. Seperti pakaian yang dipakai di lukisan tentang mitologi Yunani kuno…

“Nak, jangan berdiri di tengah jalan!” seseorang mengagetkanku. Aku yakin sekali barusan dia bicara dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa keseharianku, tapi entah kenapa aku tidak mengalami kesulitan memahami kalimatnya.

Aku berbalik dan mendapati seorang pria paruh baya, dengan janggut lebat berwarna putih-perak berdiri di depanku. Dengan bingung, kuamati bangunan-bangunan di sekitar tempat itu dan menemukan banyak toko dengan tulisan-tulisan yang sering kujumpai di pelajaran Fisika. Alpha, beta, gamma…?

“Kau baik-baik saja? Wajahmu sangat pucat,” tanya pria paruh baya itu, sambil menuntunku ke pinggir jalan.

Aku merogoh kantong celanaku, mengeluarkan inhaler yang biasa kuhirup jika asmaku kambuh.

“Apa aku… sedang berada di Yunani?” tanyaku setelah merasa serangan asmaku reda.

Pria itu mengangguk, “Anak laki-laki sepertimu, berpakaian aneh seperti ini, pastinya kau bukan berasal dari daerah manapun di dekat sini. Apa kau berasal dari belahan bumi selatan?”

Aku membelalakkan mata, bagaimana harus menjawabnya?

“Apa kau tersesat?”

Lebih tepatnya tersedot dari sebuah lukisan. Jika aku menjawab seperti itu, apakah orang ini akan percaya?

“Dari manapun kau berasal, lebih baik segera tinggalkan tempat ini. Athena sedang dalam bahaya. Orang-orang Troya akan menyerang kota ini. Athena tidak punya harapan.”

Troya? Athena? Aku mengamati lekat-lekat pria paruh baya di hadapanku ini, rasa-rasanya wajah itu familiar. Apakah aku aneh kalau mengira orang ini…

“Anda Plato?”

Gantian pria tua itu kaget. Dia memegang lenganku, mengawasi sekeliling lalu bicara dengan suara yang nyaris seperti bisikan.

“Kau mengenaliku? Apakah kau mata-mata dari Troya?”

“Bukan, aku tidak tahu apa-apa soal Troya ataupun Athena. Yang aku tahu, tiba-tiba saja aku sudah ada di sini. Aku sangat ingin pulang tapi aku tidak tahu bagaimana caranya,” jelasku membela diri.

Melihat pria tua itu diam saja, membuatku menjadi makin yakin dia benar-benar Plato.

“Ternyata kau benar-benar datang…” gumamnya agak lama kemudian, membuatku mengerutkan dahi.

“Anda yang menuliskan kisah tentang Perang Troya kan? Jadi perang itu benar-benar ada? Bukan khayalan Anda saja tentang kisah dewa-dewa Yunani—“

“Tolong, segera tinggalkan tempat ini. Demi keselamatanmu.” Plato mengeluarkan sesuatu dari tas kainnya. “Ini, selamatkan juga lukisanku satu ini. Jika kau bertemu seseorang yang mengenali lukisan ini, bawa dia bersamamu. Kau mengerti?”

***

Aku terus berlari tanpa tujuan pasti. Beberapa kali, aku hampir tertangkap oleh pasukan bersenjata yang aku pikir merupakan prajurit Athena, atau juga Troya, aku tidak tahu. Di sebuah hutan tepian sungai, tiba-tiba aku terjatuh karena tersandung sesuatu.

Begitu menyadari bahwa sesuatu itu adalah seseorang, aku sempat kaget. Orang itu terlihat kesulitan bernafas dan tangan kirinya terluka. Aku ragu-ragu mendekatinya, tapi detik berikutnya aku tersadar bahwa orang ini berada dalam bahaya.

Kuberikan inhaler itu padanya, mencontohkan cara memakainya dan dia langsung menurutinya tanpa banyak tanya. Beberapa saat kemudian, pernafasannya kembali normal.

“Terima kasih,” katanya dengan nada pelan. Dia mengamatiku beberapa saat, lalu tersenyum. “Aku Paris, Pangeran dari Troya.”

Jantungku terasa copot. Dia… seorang pangeran dari Troya? Apa dia ke sini untuk menyerang Athena? Tapi, kenapa dia terpisah dari pasukannya?

“Kau tidak mau memperkenalkan namamu? Aku merasa tersinggung,” gerutunya.

“A-aku Faith,” aku menyodorkan tangan untuk beralaman, Paris menatapku heran. Semakin kuamati wajahnya, kenapa malah semakin mirip kak Tristan?

Paris sepertinya tidak mengerti cara bersalamanku, lalu mengalihkan perhatiannya pada gulungan yang kubawa.

“Sepertinya aku mengenali gulungan itu,” ketusnya dengan nada seorang raja bicara pada rakyat jelata. Superior.

Detik berikutnya aku tersadar. Tuan Plato bilang, jika ada seseorang yang mengenali lukisan ini, maka dia harus kubawa pergi, kan? Jadi, apa orang yang dimaksud adalah pangeran ini? Pangeran dari  negeri musuh?

Paris menarik gulungan itu dariku, lalu membentangkannya ke udara. Matanya tampak berkaca-kaca.

“Guru Plato… ternyata kau tidak bohong. Kau tetap menyimpan lukisan ini untukku…selama ini kau selalu setia menjagaku…”

“Kau kenal dengan Tuan Plato? Bagaimana bisa?”

Paris menoleh padaku. “Selama ini aku diam-diam berguru dengannya. Ayahku tahu, lalu mengira Guru Plato sudah mengajariku melakukan kudeta. Kerajaan kami memutuskan memberi pelajaran pada Athena, dan guru menyuruhku kabur ke sini. Dia bilang seseorang akan datang menyelamatkanku dan juga lukisanku.”

“…”

“Jadi, bagaimana cara kau menyelamatkanku?” tanyanya.

“Kalau aku tahu, sudah dari tadi aku melakukannya.”

Paris kembali mengamatiku. “Melihat penampilanmu, aku yakin kau bukan berasal dari Athena ataupun Troya. Bagaimana caramu ke sini?”

Aku berpikir keras. Dan tiba-tiba seperti mendapatkan pencerahan, aku mengambil lukisan itu dari tangan Paris lalu merentangkannya ke udara.

“Hei, coba kau pegang lukisan ini,” kataku sambil menarik Paris dengan satu tangan, sementara tangan lain tetap memegang lukisan itu. Paris akhirnya bisa berdiri dengan susah payah, lalu memegang lukisan itu seperti perintahku.

Aku mulai menghubungkan titik-titik lukisan itu menjadi bentuk rasi bintang Orion. Tak lama kemudian, sebuah cahaya biru terang kembali muncul dan membutakan mata sesaat. Tubuhku kembali terasa seperti tersedot.

***

Begitu membuka mata, aku sudah kembali berada di museum. Di sebelahku, kak Tristan dengan rajin membersihkan pigura kaca lukisan menggunakan lap dan juga cairan pembersih. Aku baru  menyadari ada bekas luka di tangan kirinya.

“Apa kau memang Paris?” tanyaku spontan, membuat kak Tristan menoleh sambil tersenyum misterius.

“Terima kasih, sudah menemukan lukisan ini.” Lalu dia kembali melanjutkan pekerjaannya.


SELESAI
Prabumulih, 27 Januari 2016, 22.10 WIB.
Ujen.



[1] Disleksia : Ketidakmampuan untuk mengenali, membaca dan memahami tulisan

2 komentar:

  1. Etdah hyung, ado postingan baru idk ngasi tau aku -_- *ngambek*

    Seperti biasa, aku selalu menikmati tulisan2 mu hyung.
    Dapat inspirasi dr mno, tetibo bae bikin cerito tentang mitologi Yunani cak ini ??? :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bhakkss, maaf.. maaf lupo. Tadinyo cerpen ini buat lomba cerpen fantasi antar anggota FLP Prabumulih. Kebetulan hyung lagi seneng ttg mitologi Yunani gegara Percy Jackson dan jugo lah mayan lamo sih seneng ttg astronomi cak itu. Jadi dapet idenyo dari sano. Alhamdulillah sih menang :D
      Mokasih yo lah jadi reader baek dan setia di blog hyung. Beraso nian dukungannyo :3
      In syaa Alloh hyung nak bikin sekuelnyo gegara katonyo banyak anggota FLP Prabu yg pengen baco *uhuk*

      Hapus