“Aku dengar dia pernah masuk Rumah
Sakit Jiwa,” ucap Bima –teman sebangkuku-- suatu hari, saat kami sedang
istirahat di balkon depan kelas, dengan kedua tangan bertumpu pada pembatas
setinggi kira-kira 130 cm.
“Siapa?” tanyaku bingung.
Bima mengedikkan bahunya ke arah
sesosok gadis yang sedang duduk sendirian di sebuah bangku taman sekolah. Tangannya
bergerak-gerak di udara seolah sedang melukis.
“Orang yang sejak tadi kamu
perhatiin. Si Sora.” tandasnya, membuat jantungku berdenyut menyakitkan.
Sora, nama yang tadi disebutkan
Bima adalah alasan terselubungku ada di sini. Dia adalah cinta pertamaku, cinta
monyet, puppy love, you name it. Pertama kali aku bertemu
Sora ketika kami satu kelas saat kelas 7 SMP. Sora selalu membelaku saat
teman-teman usil yang suka iseng menyebutku banci, gara-gara aku tidak pernah
mengikuti pelajaran olahraga. Aku penderita asma, jadi aku tidak boleh terlalu
lelah. Sepanjang tahun adalah hari-hari perjuanganku. Saat musim hujan, udara
menjadi dingin dan lembab, aku jadi rentan flu dan kedinginan. Dan di saat
musim kemarau seperti sekarang ini, udara yang kering dan panas membuatku jadi
cepat lelah. Belum lagi jalanan yang berdebu, membuatku harus selalu sedia
masker dan inhaler untuk mengatasi serangan asmaku yang sering muncul.
Sepanjang dua tahun aku berteman
dengan Sora, kami pun menjadi sangat akrab. Namun, suatu hari, aku harus pindah
ke Jakarta karena ayah mencoba peruntungan dengan membuka sebuah toko batik di
sana. Kepindahan itu begitu tiba-tiba, aku bahkan tidak sempat mengucapkan
salam perpisahan pada Sora. Dan beberapa minggu setelah naik ke kelas 9 SMP,
aku resmi pindah sekolah.
Lalu, kesempatan itu datang beberapa
minggu lalu, ketika ayah menyarankan agar aku kembali saja ke kota kelahiranku,
karena ayah dan ibu khawatir udara di Jakarta akan menambah buruk kesehatanku.
Aku menyambut baik usulan ayah, selain karena aku memang lebih menyukai suasana
kota kelahiranku, aku juga memiliki harapan untuk bisa kembali bertemu dengan
Sora.
“Jangan sembarangan!” sergahku,
berusaha menekan emosi. Kutinju pelan bahu Bima, membuatnya terkekeh
menyebalkan.
“Banyak kok yang ngomong. Denger-denger
seharusnya Sora itu udah kelas 12 sekarang, tapi dia pernah cuti sekolah selama
satu tahun karena harus direhabilitasi. Serem nggak tuh?”
Aku menatap tajam Bima. Seandainya tatapan
itu setajam silet, aku pastikan Bima sudah tercabik-cabik sekarang.
“Kamu. Jangan. Sok. Tahu!” tegurku,
menekankan setiap kata.
“Jiahh… ya udah sih kalau nggak
percaya.” Bima mengangkat bahu, lalu tiba-tiba berbisik tepat di daun
telingaku. “Atau jangan-jangan… kamu naksir dia ya?”
Ucapannya membuatku ingin
menyumpalkan sepatu ke mulut besarnya.
***
Aku baru menyadari ada yang aneh
dari Sora. Dia bersikap seolah-olah tidak mengenalku. Aku juga tidak pernah
melihatnya berbicara di kelas. Sora tampak tertutup dan mengasingkan diri dari
keramaian. Tidak seperti Sora yang selama ini kukenal. Seingatku Sora adalah
sosok gadis yang ceria dan terbuka. Wajahnya selalu tersenyum ramah. Apa waktu
tiga tahun sudah terlalu banyak mengubah pribadinya menjadi orang yang berbeda?
Karena penasaran, aku pun
menghampiri Sora di suatu siang, dia tampak menikmati kesendirian di tempat
favoritnya, bangku taman sekolah.
“Hai,” sapaku sambil tersenyum
lebar. Sora mendongak menatapku, matanya mengerjap beberapa kali, lalu
tersenyum ragu-ragu.
“Ngg… aku boleh duduk di sini?”
tanyaku lagi, berharap tidak mendapat penolakan darinya.
Sora tidak mengatakan apa-apa, dia
hanya menggeser posisi duduknya sehingga memberiku cukup tempat untuk duduk.
Hening.
Sora kembali menoleh padaku dengan
tatapan ingin tahu.
“Eh, k-kamu… masih ingat aku kan?”
aku menggigit bibir, gugup.
Sora tampak mengerutkan alisnya,
lalu mengangguk.
“Syukurlah, kupikir kamu sudah lupa,”
gumamku lalu terkekeh pelan mengatasi kegugupan. “Soalnya kamu nggak pernah
nyapa aku sih.”
Aku melirik Sora yang tidak juga
menjawabku. Dia sibuk menuliskan sesuatu di sebuah buku catatan seukuran saku,
lalu menunjukkan tulisan di sana.
-Kupikir malah kamu yang sudah lupa.-
“Kamu… segitu marahnya denganku
sampai nggak mau bicara?” tanyaku hati-hati. Sora kembali menuliskan sesuatu di
bukunya.
-Afasia.-
Aku tertegun. Afasia? Sora
kehilangan kemampuan bicaranya? Aku sangat berharap ini hanya candaan, tapi
melihat raut di wajah Sora, aku tahu dia serius.
“Sora… bagaimana bisa? Maksudku,
apa yang udah terjadi selama aku nggak ada di sini?”
Dia menatapku lama dengan mata
berkaca-kaca, lalu menundukkan kepalanya dengan kedua tangan mengepal erat.
Sora mulai menulis lagi di bukunya, kali ini agak panjang.
Beberapa menit kemudian, Sora
selesai menulis dan menyodorkan buku itu padaku.
***
Sora bilang dia sempat kaget saat
aku pindah sekolah secara tiba-tiba. Dia merasa kehilangan, namun kehadiran kak
Ryo, satu-satunya kakak Sora membuatnya sedikit terhibur. Kak Ryo membantu Sora
mengembalikan lagi semangat melukisnya yang sempat hilang karena aku, yang
biasanya membantu dan menemaninya melukis, sudah pergi. Sora merasa bersyukur
mempunyai kakak seperti Ryo. Tapi kebahagiaannya tidak lama, Ryo mengalami
kecelakaan lalu lintas saat sedang dalam perjalanan menuju rumah, sambil
membawa lukisan langit di waktu senja sebagai hadiah untuk ulang tahun Sora.
Sekali lagi Sora harus merasakan
kehilangan. Dia menangis berhari-hari, sampai suatu hari, kemampuan
berbicaranya hilang. Sora syok dan dia harus menjalani terapi demi terapi
penyembuhan selama setahun. Dia mengikuti home
schooling selama sisa tahun SMP-nya dan kembali ke sekolah umum setelah
menginjak bangku SMA.
Kukepalkan tanganku erat-erat.
Sudah kuduga selama ini teman-teman sudah salah paham pada Sora, mereka mengira
Sora sebagai mantan pasien rumah sakit jiwa, padahal dia sedang mengikuti
terapi menghadapi traumanya.
Aku segera bangkit dari dudukku.
Aku harus meluruskan kesalahpahaman ini.
***
Begitu masuk ke dalam kelas, aku
berpapasan dengan Bima yang sepertinya baru akan keluar. Aku bisa merasakan
tatapan Bima yang terus mengamatiku, membuatku gerah dan berbalik berhadapan
dengan Bima.
“Ada apa?” tanyaku jengah.
Bima tersenyum seakan mengejek.
“Aku dengar kamu pacaran dengan
Sora? Serius tuh? Kamu pacaran dengan mantan orgil?!”
Refleks, aku mencengkeram kerah
baju Bima. Beberapa teman yang ada di dalam kelas tampak ikut tegang.
“Tarik ucapan kamu!” sergahku
sambil mengeraskan rahang. Bima terlihat kaget, wajahnya pucat dan berusaha
melepaskan diri dari cengkeraman tanganku.
“O-oke… tapi tolong… lepasin dulu
tanganmu,” Bima terbatuk-batuk. Akhirnya aku melepaskan cengkeramanku.
Bima menarik napas dalam-dalam,
lalu menghembuskannya, “Jadi, kamu nggak pacaran sama dia?”
“Itu bukan urusanmu kan? Aku cuma
nggak suka kamu nyebut Sora itu ‘mantan orang gila’!”
“Lho, kan emang faktanya—“
“Fakta dari mana yang kamu maksud? Aku
kasih tahu fakta yang sebenarnya ya. Aku dan Sora itu teman satu kelas saat
kami kelas 7 dan 8 SMP. Aku pindah ke luar kota saat kelas 9. Jadi apa mungkin
orang yang pernah satu kelas dengan kita, bisa cuti sekolah selama satu tahun
tapi ternyata masih satu kelas lagi sekarang?”
“Hah? Kamu dan Sora…”
“Saat kamu bilang Sora
direhabilitasi selama satu tahun di rumah sakit jiwa, itu sebenarnya karena
suatu peristiwa yang menyebabkan kakaknya meninggal, membuat Sora trauma
sampai-sampai dia kehilangan kemampuan bicaranya dan harus menjalani terapi
penyembuhan. Aku nggak tahu dari mana kamu dapat fakta yang kamu bilang, tapi
semua itu sama saja dengan kamu memfitnah Sora.”
Bima mematung beberapa saat. Lalu
dia menundukkan kepalanya.
“A-aku…” Bima terlihat menyesal. “Maaf,
selama ini aku… nggak, bahkan kami semua sudah kejam sama Sora. Kami hanya
percaya pada isu yang menyebar, tanpa pernah menanyakan hal yang sebenarnya
pada Sora. Bahkan, kami nggak pernah mencoba mendekati Sora dan menganggap dia
seolah-olah orang asing…”
“Minta maaf langsung sama Sora.
Perbuatan kalian selama ini secara nggak langsung menambah beban Sora. Kalian
dengar? Minta maaf secara langsung!” kataku sambil meninggalkan berpuluh pasang
mata yang menatap kepergianku.
***
Beberapa waktu kemudian.
Pertengahan musim kemarau. Matahari
bersinar sangat terik. Tidak ada angin yang bertiup. Aku berjalan menuju sudut
favorit Sora, sebuah bangku taman belakang sekolah yang cukup terlindungi dari
paparan matahari karena sebuah pohon menaunginya.
Aku tersenyum menghampiri Sora yang
sedang duduk sambil sibuk melukis di udara.
“Hai,” sapaku membuat Sora
mendongak dan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Kali ini agak lama. Aku
berangsur duduk di samping Sora.
“Kenapa masih suka sendirian di
sini? Teman-teman udah pada minta maaf sama kamu kan?” aku memastikan Sora
sudah mendapat permintaan maaf dari teman-teman sekelas.
Sora mengangguk.
“Sora… apa kamu begitu nyaman
sendirian seperti ini? Kenapa nggak mencoba berbaur dengan yang lain?”
Sora mengeluarkan buku catatan dan
pulpennya, lalu mulai menulis sesuatu.
-Aku suka tempat ini. Di sini aku bisa
mendapatkan inspirasi untuk melukis.-
Aku menghela napas berat. Lalu
mengeluarkan sesuatu dari sebuah tas kertas. Sebuah pigura 20x30 cm yang berisi
kanvas kosong dan sebuah pensil sketsa.
“Lukiskan aku pemandangan langit
saat matahari terbit, Sora. Sebagai simbol awal yang baru untuk kehidupan kamu.”
Sora menghentikan gerakan tangannya
di udara, lalu menoleh padaku.
“Melukislah di kanvas, agar lukisan
kamu bisa awet, dan dinikmati bukan hanya olehmu, tapi juga oleh orang yang
selalu mengagumi dan mendukungmu. Aku.”
Dengan mata berkaca-kaca, perlahan
Sora mengangguk. Kulihat bibirnya bergetar, seolah-olah berusaha untuk
mengeluarkan suara.
Dan, setelah sekian lama, aku
akhirnya mendengar suara yang sudah lama kurindukan itu.
“Te-terima kasih, Tirta.” ucapnya
lirih.
SELESAI
Prabumulih, 03 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar