Sebut
saja namanya Bunga.
Setidaknya begitulah aku menyebutnya. Usianya 17 tahun,
satu tahun lebih tua dariku. Rambutnya sehitam malam, bibirnya semerah darah
dan kulitnya seputih salju. Dia seperti gambaran nyata dari Snow White. Aku mengenalnya
karena dia tetangga satu kompleks denganku. Sampai sekarang aku belum tahu nama
aslinya, karena waktu kutanya, dia hanya menjawab dengan menunjuk serumpun
bunga mawar yang tumbuh subur di taman kompleks.
Aku
memanggilnya Bunga sejak saat itu. Lagipula kupikir nama itu cocok untuknya
yang memang secantik bunga. Sayangnya, kami tidak pernah bicara banyak. Ah,
bahkan rasanya aku nyaris tidak pernah bicara dengannya. Karena setiap akan
mulai pembicaraan, dia sudah berlari pulang duluan. Aku hanya menduga namanya
Bunga dan selebihnya, aku mendengar tentangnya dari Tante Fatma, wanita
berdarah Palembang yang merupakan ibunya si Bunga, yang kebetulan teman satu
majelis taklim dengan mamaku.
Pernah aku iseng menanyakan tentang
Bunga pada Tante Fatma. Yang membuatku semakin penasaran adalah Tante Fatma
tidak pernah menyebut nama aslinya Bunga, beliau selalu menyebut Bunga sebagai ‘anak
gadisku’ atau ‘putri kesayanganku’. Untuk menanyakan namanya secara langsung
rasanya … tidak berani. Hh.
Tante Fatma bilang Bunga suka
sekali melukis. Dia tidak sekolah di SMA biasa, tapi homeschooling. Jadi gurunya yang datang ke rumah. Praktis dia tidak
punya teman.
“Boleh tidak aku berteman dengan putri kecil Tante?” tanyaku di suatu
sore.
“Tentu. Anak gadis-ku pasti akan
suka berteman denganmu. Rain kan anak baik.” jawab Tante Fatma sambil tersenyum
ramah.
“Tapi kenapa putri kecil Tante tidak mau kuajak ngobrol?”
“Dia hanya terlalu senang karena
ada yang mau mengajaknya berteman. Sejak kecil dia tidak pernah punya teman. Kalau
Rain mau, bagaimana kalau Rain saja yang main ke rumah?”
Dan aku pun mengangguk antusias.
oOo
Ruangan tempat Bunga melukis jauh
dari kesan berantakan. Ruangan itu luas dan bahkan terlampau bersih untuk
sebuah studio lukis. Beberapa karya yang sudah dihasilkan si Bunga terpajang di
sana. Juga beberapa piala dan medali yang berjejer rapi di sebuah lemari kaca.
Aku melihat Bunga sedang menyapukan
kuasnya ke permukaan kanvas seukuran lemari es di rumahku. Aku lalu perlahan
menghampirinya dan berdiri di dekatnya.
“Hai.” sapaku. Bunga menoleh dengan
gerakan slow motion seperti di anime
yang sering kutonton. Kelopak-kelopak bunga sakura seakan berjatuhan di
sekelilingnya.
Senyumnya terlukis indah.
“Kita pernah beberapa kali bertemu
sebelumnya. Namaku Rainhart, panggil saja Rain. Kamu… Bunga kan?”
Dia seperti menahan tawa, lalu
pipinya memerah.
“Kalau begitu, aku akan memanggilmu
Hujan.”
Untuk pertama kalinya aku mendengar
suara Bunga. Suaranya tidak selembut yang aku bayangkan, agak serak dan
terkesan kebule-bulean. Tapi tentu saja tidak seekstrim Cinta Laura.
Oh iya, omong-omong kenapa
seenaknya saja dia mengganti namaku dari Rain menjadi Hujan? TT.TT
Sepertinya barusan aku menyuarakan
isi hatiku, karena sekarang si Bunga sedang tertawa kecil.
“Aku lebih suka nama yang terkesan
Indonesia. Karena kebetulan nama Rain berarti Hujan dalam bahasa Indonesia,
jadi aku akan memanggilmu Hujan.”
Tapi kan ‘Hujan’ itu bukan sebuah
nama, dan kesannya aku ini orang yang cengeng deh.
“Ngg… apa nama aslimu beneran
Bunga?” tanyaku membuat si Bunga kembali menoleh. “Soalnya, waktu aku tanya
namamu, kamu menunjuk serumpun bunga mawar yang ada di taman itu. Jadi aku
mengira namamu Bunga … atau Mawar?”
Bunga mendengus geli. “Yah, bisa
dibilang begitu.” jawabnya santai. Jadi apa nama aslinya memang Bunga?
Melihatku mengerutkan kening, Bunga
lagi-lagi tertawa pelan. “Nama asliku Masayu Florence Campbell, Masayu itu
seperti nama gelar kebangsawanan dalam kerajaan Palembang, dan Florence-nya
berasal dari kata ‘Flower’ yang berarti ‘Bunga’, iya kan?”
Dia bercanda ya? Selain Masayu,
nama lengkapnya membuatku tercengang karena benar-benar bukan nama yang
terkesan Indonesia.
“Pasti menyenangkan ya bisa main di
luar rumah?” ujarnya seakan-akan dia masih bocah berumur 5 tahun yang dilarang
main di luar rumah.
“Lho, memangnya kamu dilarang main
di luar rumah?” tanyaku heran karena aku kan beberapa kali melihatnya ada di
taman.
Bunga menggeleng. “Mama Fatma
melarangku. Aku hanya dibolehkan duduk sebentar di taman untuk mencari
inspirasi. Makanya waktu bertemu denganmu aku tidak pernah berkesempatan
ngobrol.”
Dia lucu juga. Memangnya dia punya
berapa mama sampai menyebut mamanya lengkap dengan nama?
“Sebenarnya Mama Fatma hanya
khawatir kalau aku terluka. Soalnya sedikit saja aku terluka, darah tidak akan
berhenti mengalir keluar. Mama Fatma takut aku akan seperti Papa Jackson yang
meninggal karena thalasemia.”
“Tunggu dulu, aku gak ngerti.
Bukannya papa kamu bernama Alwi?”
“Mama Fatma dan Papa Alwi itu
orangtua angkatku. Orangtua asliku meninggal karena kecelakaan waktu ada
perjalanan bisnis di Bali. Mama Sophie, mama asliku meninggal di tempat,
sedangkan Papa Jackson meninggal karena tidak ada donor untuk darahnya yang
langka. Sepertinya aku juga punya penyakit seperti Papa Jackson.”
Aku kehabisan kata-kata. Aku tidak
pernah menyangka kalau Bunga mempunyai hidup yang sulit seperti itu. Orangtua
kandungnya meninggal karena kecelakaan, dan dia menderita penyakit langka
seperti itu.
oOo
Bunga dilarikan ke rumah sakit
karena jarinya terluka saat sedang menajamkan pensilnya dengan cutter. Darahnya terus-menerus mengucur
padahal sepertinya lukanya tidak terlalu dalam. Bunga langsung pingsan, jadi
Tante Fatma memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
Aku, mama dan Tante Fatma menunggu
dengan cemas di depan UGD.
“Stok darah AB- kita sedang kosong!”
seru seorang perawat yang lewat di depan kami. Sepertinya di sedang bicara
dengan seseorang di telepon.
AB-? Aku pernah mendengar kalau itu
adalah golongan darah terlangka di dunia. Hanya dimiliki oleh 1 dari 2000
orang. Dan Bunga memiliki golongan darah itu?
“Duh, aku gak bisa donorin nih,
golongan darahku B.” kata mama membuatku menoleh. “Kalau gak salah, golongan
darahmu AB kan, Rain?” tanya mama padaku.
Benar juga. Aku baru ingat kalau
golongan darahku juga AB, tapi aku tidak tahu rhesus-nya.
“Permisi, Mbak.” aku memanggil
perawat yang sudah akan berlalu dari hadapan kami. Dia menghentikan langkahnya.
“Apa aku bisa donorin darah buat Florence?” tanyaku menyebut nama asli Bunga
sesuai dengan yang tertera di buku administrasi tadi.
“Golongan darah adek juga AB-?” tanya
perawat itu tampak tergesa-gesa.
“Itu … aku belum tahu rhesus-nya,
tapi golongan darahku AB.”
“Oke, kalau gitu kita coba ikut
pemeriksaan dulu di laboratorium. Mari ikut saya.” Aku mengikuti perawat itu
berjalan menuju ruang laboratorium rumah sakit.
Bismillah. Semoga aku bisa menolong
Bunga.
oOo
Satu bulan kemudian.
Aku mengamati Bunga yang tampak fokus
dengan lukisannya yang sepertinya hampir selesai. Lukisannya menggambarkan
tentang taman bunga, dengan rintik hujan yang jatuh ke kelopak dan daun bunga.
“Bunga dan hujan… apa itu maksudnya
aku dan kamu?” tanyaku iseng, tidak tahan dari tadi hanya diam saja.
Bunga hanya melirikku sekilas, tersenyum
lalu kembali fokus dengan lukisannya.
“Aku benar-benar berterima kasih
atas bantuan kamu waktu itu. Kamu pasti sudah kehilangan banyak darah.”
“Gak sebanyak darah yang kamu
keluarin kan? Lagipula, guru Biologi-ku pernah bilang, kalau tubuh kita akan
lebih sehat kalau kita donorin darah. Terus kita juga mendapat pahala karena
bisa menolong orang yang membutuhkan. Iya kan? Ah, aku juga harus berterima
kasih karena berkat kejadian itu, aku jadi tahu kalau golongan darahku juga
AB-, sebelumnya aku tidak pernah peduli apa golongan darahku karena kupikir itu
tidak penting. Ternyata aku salah.”
“Sekali lagi terima kasih.” katanya
sambil menundukkan kepalanya sekilas.
“Sama-sama.” balasku, lalu kami
tertawa.
“Lukisan ini buatmu, sebagai tanda
persahabatan kita.” kata Bunga setelah melakukan finishing pada lukisannya.
“Terima kasih. Tapi aku akan lebih
suka kalau kamu melukis sketsa wajahku.” kataku sambil menekan kedua pipiku
dengan jari telunjuk tanganku.
“Dih, dasar narsis.” Bunga memutar
bola matanya.
Aku terkekeh, lalu perhatianku
tertuju pada pensil tumpul dan cutter
yang tergeletak di sebuah meja kecil di depanku. Aku mengambil kedua benda itu
dan mulai menajamkan pensil itu dengan cutter.
Masayu Florence Campbell, mulai
saat ini, biarkan aku saja yang menajamkan pensilmu, gumamku dalam hati.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar