Minggu, 16 Agustus 2015

[Cerpen] Melukis Langit Sora

Oleh : Tsujana Albarabumulih Ujen (박수잔)


“Aku dengar dia pernah masuk Rumah Sakit Jiwa,” ucap Bima –teman sebangkuku-- suatu hari, saat kami sedang istirahat di balkon depan kelas, dengan kedua tangan bertumpu pada pembatas setinggi kira-kira 130 cm.
 
“Siapa?” tanyaku bingung.

Bima mengedikkan bahunya ke arah sesosok gadis yang sedang duduk sendirian di sebuah bangku taman sekolah. Tangannya bergerak-gerak di udara seolah sedang melukis.

“Orang yang sejak tadi kamu perhatiin. Si Sora.” tandasnya, membuat jantungku berdenyut menyakitkan.

Sora, nama yang tadi disebutkan Bima adalah alasan terselubungku ada di sini. Dia adalah cinta pertamaku, cinta monyet, puppy love, you name it. Pertama kali aku bertemu Sora ketika kami satu kelas saat kelas 7 SMP. Sora selalu membelaku saat teman-teman usil yang suka iseng menyebutku banci, gara-gara aku tidak pernah mengikuti pelajaran olahraga. Aku penderita asma, jadi aku tidak boleh terlalu lelah. Sepanjang tahun adalah hari-hari perjuanganku. Saat musim hujan, udara menjadi dingin dan lembab, aku jadi rentan flu dan kedinginan. Dan di saat musim kemarau seperti sekarang ini, udara yang kering dan panas membuatku jadi cepat lelah. Belum lagi jalanan yang berdebu, membuatku harus selalu sedia masker dan inhaler untuk mengatasi serangan asmaku yang sering muncul.

Sepanjang dua tahun aku berteman dengan Sora, kami pun menjadi sangat akrab. Namun, suatu hari, aku harus pindah ke Jakarta karena ayah mencoba peruntungan dengan membuka sebuah toko batik di sana. Kepindahan itu begitu tiba-tiba, aku bahkan tidak sempat mengucapkan salam perpisahan pada Sora. Dan beberapa minggu setelah naik ke kelas 9 SMP, aku resmi pindah sekolah.

Lalu, kesempatan itu datang beberapa minggu lalu, ketika ayah menyarankan agar aku kembali saja ke kota kelahiranku, karena ayah dan ibu khawatir udara di Jakarta akan menambah buruk kesehatanku. Aku menyambut baik usulan ayah, selain karena aku memang lebih menyukai suasana kota kelahiranku, aku juga memiliki harapan untuk bisa kembali bertemu dengan Sora.

“Jangan sembarangan!” sergahku, berusaha menekan emosi. Kutinju pelan bahu Bima, membuatnya terkekeh menyebalkan.

“Banyak kok yang ngomong. Denger-denger seharusnya Sora itu udah kelas 12 sekarang, tapi dia pernah cuti sekolah selama satu tahun karena harus direhabilitasi. Serem nggak tuh?”

Aku menatap tajam Bima. Seandainya tatapan itu setajam silet, aku pastikan Bima sudah tercabik-cabik sekarang.

“Kamu. Jangan. Sok. Tahu!” tegurku, menekankan setiap kata.

“Jiahh… ya udah sih kalau nggak percaya.” Bima mengangkat bahu, lalu tiba-tiba berbisik tepat di daun telingaku. “Atau jangan-jangan… kamu naksir dia ya?”

Ucapannya membuatku ingin menyumpalkan sepatu ke mulut besarnya.

***

Aku baru menyadari ada yang aneh dari Sora. Dia bersikap seolah-olah tidak mengenalku. Aku juga tidak pernah melihatnya berbicara di kelas. Sora tampak tertutup dan mengasingkan diri dari keramaian. Tidak seperti Sora yang selama ini kukenal. Seingatku Sora adalah sosok gadis yang ceria dan terbuka. Wajahnya selalu tersenyum ramah. Apa waktu tiga tahun sudah terlalu banyak mengubah pribadinya menjadi orang yang berbeda?

Karena penasaran, aku pun menghampiri Sora di suatu siang, dia tampak menikmati kesendirian di tempat favoritnya, bangku taman sekolah.

“Hai,” sapaku sambil tersenyum lebar. Sora mendongak menatapku, matanya mengerjap beberapa kali, lalu tersenyum ragu-ragu.

“Ngg… aku boleh duduk di sini?” tanyaku lagi, berharap tidak mendapat penolakan darinya.

Sora tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggeser posisi duduknya sehingga memberiku cukup tempat untuk duduk.

Hening.

Sora kembali menoleh padaku dengan tatapan ingin tahu.

“Eh, k-kamu… masih ingat aku kan?” aku menggigit bibir, gugup.

Sora tampak mengerutkan alisnya, lalu mengangguk.

“Syukurlah, kupikir kamu sudah lupa,” gumamku lalu terkekeh pelan mengatasi kegugupan. “Soalnya kamu nggak pernah nyapa aku sih.”

Aku melirik Sora yang tidak juga menjawabku. Dia sibuk menuliskan sesuatu di sebuah buku catatan seukuran saku, lalu menunjukkan tulisan di sana.

-Kupikir malah kamu yang sudah lupa.-

“Kamu… segitu marahnya denganku sampai nggak mau bicara?” tanyaku hati-hati. Sora kembali menuliskan sesuatu di bukunya.

-Afasia.-

Aku tertegun. Afasia? Sora kehilangan kemampuan bicaranya? Aku sangat berharap ini hanya candaan, tapi melihat raut di wajah Sora, aku tahu dia serius.

“Sora… bagaimana bisa? Maksudku, apa yang udah terjadi selama aku nggak ada di sini?”

Dia menatapku lama dengan mata berkaca-kaca, lalu menundukkan kepalanya dengan kedua tangan mengepal erat. Sora mulai menulis lagi di bukunya, kali ini agak panjang.

Beberapa menit kemudian, Sora selesai menulis dan menyodorkan buku itu padaku.

***

Sora bilang dia sempat kaget saat aku pindah sekolah secara tiba-tiba. Dia merasa kehilangan, namun kehadiran kak Ryo, satu-satunya kakak Sora membuatnya sedikit terhibur. Kak Ryo membantu Sora mengembalikan lagi semangat melukisnya yang sempat hilang karena aku, yang biasanya membantu dan menemaninya melukis, sudah pergi. Sora merasa bersyukur mempunyai kakak seperti Ryo. Tapi kebahagiaannya tidak lama, Ryo mengalami kecelakaan lalu lintas saat sedang dalam perjalanan menuju rumah, sambil membawa lukisan langit di waktu senja sebagai hadiah untuk ulang tahun Sora.

Sekali lagi Sora harus merasakan kehilangan. Dia menangis berhari-hari, sampai suatu hari, kemampuan berbicaranya hilang. Sora syok dan dia harus menjalani terapi demi terapi penyembuhan selama setahun. Dia mengikuti home schooling selama sisa tahun SMP-nya dan kembali ke sekolah umum setelah menginjak bangku SMA.


Kukepalkan tanganku erat-erat. Sudah kuduga selama ini teman-teman sudah salah paham pada Sora, mereka mengira Sora sebagai mantan pasien rumah sakit jiwa, padahal dia sedang mengikuti terapi menghadapi traumanya.

Aku segera bangkit dari dudukku. Aku harus meluruskan kesalahpahaman ini.

***

Begitu masuk ke dalam kelas, aku berpapasan dengan Bima yang sepertinya baru akan keluar. Aku bisa merasakan tatapan Bima yang terus mengamatiku, membuatku gerah dan berbalik berhadapan dengan Bima.

“Ada apa?” tanyaku jengah.

Bima tersenyum seakan mengejek.

“Aku dengar kamu pacaran dengan Sora? Serius tuh? Kamu pacaran dengan mantan orgil?!”

Refleks, aku mencengkeram kerah baju Bima. Beberapa teman yang ada di dalam kelas tampak ikut tegang.

“Tarik ucapan kamu!” sergahku sambil mengeraskan rahang. Bima terlihat kaget, wajahnya pucat dan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tanganku.

“O-oke… tapi tolong… lepasin dulu tanganmu,” Bima terbatuk-batuk. Akhirnya aku melepaskan cengkeramanku.

Bima menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya, “Jadi, kamu nggak pacaran sama dia?”

“Itu bukan urusanmu kan? Aku cuma nggak suka kamu nyebut Sora itu ‘mantan orang gila’!”

“Lho, kan emang faktanya—“

“Fakta dari mana yang kamu maksud? Aku kasih tahu fakta yang sebenarnya ya. Aku dan Sora itu teman satu kelas saat kami kelas 7 dan 8 SMP. Aku pindah ke luar kota saat kelas 9. Jadi apa mungkin orang yang pernah satu kelas dengan kita, bisa cuti sekolah selama satu tahun tapi ternyata masih satu kelas lagi sekarang?”

“Hah? Kamu dan Sora…”

“Saat kamu bilang Sora direhabilitasi selama satu tahun di rumah sakit jiwa, itu sebenarnya karena suatu peristiwa yang menyebabkan kakaknya meninggal, membuat Sora trauma sampai-sampai dia kehilangan kemampuan bicaranya dan harus menjalani terapi penyembuhan. Aku nggak tahu dari mana kamu dapat fakta yang kamu bilang, tapi semua itu sama saja dengan kamu memfitnah Sora.”

Bima mematung beberapa saat. Lalu dia menundukkan kepalanya.

“A-aku…” Bima terlihat menyesal. “Maaf, selama ini aku… nggak, bahkan kami semua sudah kejam sama Sora. Kami hanya percaya pada isu yang menyebar, tanpa pernah menanyakan hal yang sebenarnya pada Sora. Bahkan, kami nggak pernah mencoba mendekati Sora dan menganggap dia seolah-olah orang asing…”

“Minta maaf langsung sama Sora. Perbuatan kalian selama ini secara nggak langsung menambah beban Sora. Kalian dengar? Minta maaf secara langsung!” kataku sambil meninggalkan berpuluh pasang mata yang menatap kepergianku.

***

Beberapa waktu kemudian.

Pertengahan musim kemarau. Matahari bersinar sangat terik. Tidak ada angin yang bertiup. Aku berjalan menuju sudut favorit Sora, sebuah bangku taman belakang sekolah yang cukup terlindungi dari paparan matahari karena sebuah pohon menaunginya.

Aku tersenyum menghampiri Sora yang sedang duduk sambil sibuk melukis di udara.

“Hai,” sapaku membuat Sora mendongak dan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Kali ini agak lama. Aku berangsur duduk di samping Sora.

“Kenapa masih suka sendirian di sini? Teman-teman udah pada minta maaf sama kamu kan?” aku memastikan Sora sudah mendapat permintaan maaf dari teman-teman sekelas.

Sora mengangguk.

“Sora… apa kamu begitu nyaman sendirian seperti ini? Kenapa nggak mencoba berbaur dengan yang lain?”

Sora mengeluarkan buku catatan dan pulpennya, lalu mulai menulis sesuatu.

-Aku suka tempat ini. Di sini aku bisa mendapatkan inspirasi untuk melukis.-

Aku menghela napas berat. Lalu mengeluarkan sesuatu dari sebuah tas kertas. Sebuah pigura 20x30 cm yang berisi kanvas kosong dan sebuah pensil sketsa.

“Lukiskan aku pemandangan langit saat matahari terbit, Sora. Sebagai simbol awal yang baru untuk kehidupan kamu.”

Sora menghentikan gerakan tangannya di udara, lalu menoleh padaku.

“Melukislah di kanvas, agar lukisan kamu bisa awet, dan dinikmati bukan hanya olehmu, tapi juga oleh orang yang selalu mengagumi dan mendukungmu. Aku.”

Dengan mata berkaca-kaca, perlahan Sora mengangguk. Kulihat bibirnya bergetar, seolah-olah berusaha untuk mengeluarkan suara.

Dan, setelah sekian lama, aku akhirnya mendengar suara yang sudah lama kurindukan itu.

“Te-terima kasih, Tirta.” ucapnya lirih.

SELESAI


Prabumulih, 03 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar