Author
:
Tsujana Albarabumulih/Park Sujan
Genre
:
Slice of Life
Disclaimer
:
Ide cerita ini aku dapat dari mimpiku (serius!) beberapa hari lalu. Di dalam
mimpiku itu, aku mendapat kiriman paket persis paket yang kuterima waktu ikutan
PO novel TCOA (The Chronicles of Audy) yang ke tiga. Aku begitu semangat
membuka paket itu, dan langsung membolak-balik halamannya. Kubaca sinopsis dan
tentang pengarangnya. Tapi sayangnya, aku malah nggak sempat baca isi
ceritanya. LOL.
*Seandainya mimpinya bisa berlanjut ya?* *3*
Ada yang pernah bilang kalo mimpi itu adalah
keinginan kita yang terpendam. Oh yeah, kali ini aku setuju. Aku bener-bener
pengen cerita TCOA buat buku ke empatnya tuntas (makanya itu ya sampe kebawa ke
alam mimpi? Duh). Dan tentunya ‘kapal’ AuRex ‘berlayar’. *ujung-ujungnya balik
ke couple favoritku dah*.
Oke. Oke. Daripada aku makin banyak ciap-ciap,
mending langsung aja ke FF-nya.
Happy reading~
^^
***
-Sidang skripsinya gimana, Au?-
Sebaris kalimat yang berasal dari
sebuah e-mail asing terpampang di layar laptopku (laptop Romeo sebenarnya). Pengirimnya
berasal dari alamat initial_rdotxxxdotcom. Aku mengerutkan kening bingung. Kepalaku
penuh dengan pertanyaan tentang siapa kira-kira orang ini? Kenapa bisa tahu
alamat e-mail-ku? Dan kenapa menanyakan tentang sidang skrip—
AH! Aku ingat. Satu-satunya manusia
yang begitu menyukai skripsiku adalah seorang ABG super jenius dan labil
bernama Rex Rashad!
Tapi tunggu dulu. Normalnya, Rex
tidak akan pernah mengirimiku e-mail, sekalipun itu untuk menanyakan tentang
skripsiku. Terus, kenapa tiba-tiba sekarang?
Kugerakkan jari-jariku di keyboard laptop membalas e-mail itu. Ini
momen langka! Jarang-jarang Rex rela meluangkan waktu berharganya demi
mengirimiku e-mail. Walaupun itu masih tentang skripsi alih-alih bertanya ‘apa
kabar’.
-Lho, Rex, tumben kamu kirim
e-mail. Emang gak lagi sibuk?
BTW, sidang skripsiku udah kelar
dan aku bakal wisuda seminggu lagi. Datang ya~ -
E-mail
sent.
Aku menunggu e-mail balasan dari
Rex sembari membaca ulang e-mail yang kukirim. Menyuruh Rex datang di saat hari
kelulusanku adalah salah satu hal yang mustahil. Dia tidak akan mau meluangkan
waktunya terbang dari Amerika ke Indonesia demi melihatku memakai toga. Urusan
syaraf-syaraf dan segala hal yang berhubungan dengan neurologi jauh lebih
penting baginya.
Aku menghela nafas lalu me-refresh halaman akunku. Satu notifikasi
muncul lalu segera kubuka inbox. Ada
balasan dari Rex.
-I want to see you.-
Sumpah, aku merinding! Kalimat itu
terdengar begitu cheesy untuk
diucapkan seorang Rex. Aku sampai tidak mempercayai penglihatanku. Ini kayak
bukan Rex. Atau ini memang Rex tapi…
Pikiranku langsung meracau
membayangkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana kalau di sana Rex dipaksa teman
Amerika-nya menenggak alkohol sehingga tanpa sadar menuliskan e-mail seperti
itu. Bisa jadi kan? Rex terlalu stres belajar sehingga berani menyentuh alkohol?
Namun, aku ingat bahwa Rex hanya
berteman dengan buku. Pemikiran ini sedikit melegakanku sehingga aku memilih
untuk tidak membalas e-mail itu dan malah logout
dari akunku. Lagipula aku bingung harus menjawab apa dan juga karena paket
modemku sudah sangat sekarat. Mungkin besok akan ada e-mail lain dari Rex yang
mengatakan kalau e-mail itu sebenarnya ditujukan untuk Rafael, adik
satu-satunya, misalnya? Pokoknya aku masih ragu kalau e-mail itu ditujukan
untukku.
***
Graduation Day.
“Audy!”
Aku sedang berkumpul sambil berfoto
bersama rekan-rekan seperjuangan dan juga beberapa kenalan selama kuliah saat
tiba-tiba suaranya nyaring meneriakkan namaku. Aku menoleh mencari asal suara
yang ternyata itu dari kembarannya Megan Fox alias Missy, sahabatku. Dia segera
menghambur ke pelukanku.
“Akhirnya lo wisuda juga, Dy,”
katanya dengan nada seolah dia ibuku yang sudah lama menantikan hari ini. Dia
sendiri belum menyentuh skripsinya, ngomong-ngomong.
“Iya, akhirnya aku bisa meraih
gelar yang penuh perjuangan ini,” kataku merasa terharu akan diriku sendiri.
Missy melepaskan pelukannya dan
mengamatiku dari atas ke bawah.
“Lo cantik banget sih, Dy. Dandan
di mana?” tanyanya karena tidak yakin aku bisa berhias sendirian.
Aku mengedikkan dagu menunjuk ke arah
Maura, istri Regan yang sedang ngobrol bersama kedua orangtuaku.
Missy mengikuti arah pandangku dan
memperhatikan kelompok kecil itu agak lama.
“Mas Regan, mbak Maura, Romeo,
Rafael, nyokap-bokap lo, Ares…”
Aku mengangguk-angguk sambil
menunggu Missy melanjutkan kalimatnya.
“Trus, bocah kampret itu mana?”
Bahuku segera melorot. Missy masih
saja menggunakan kata ‘bocah kampret’ sebagai pengganti nama Rex yang
jelas-jelas tidak kampret. Missy sudah menyuruhku membasmi ‘Pasukan Kupu-kupu
yang Bersemayam di Perutku Gara-gara Rex’, tapi aku belum bisa melakukannya.
Dan, karena hari ini adalah salah satu momen bahagia dalam hidupku, aku tidak
mau merusaknya dengan mendebat Missy tentang Rex.
“Sayang banget dong dia nggak bisa
lihat lo tampil cantik gini. Ckckckck~”
“Rex belum bisa pulang,” jawabku
kalem, membuat Missy berdecak prihatin. Baru saja dia akan kembali mengkritikku
lagi ketika tahu-tahu suaranya seakan nyangkut di tenggorokan. Matanya
terbelalak sambil menunjuk arah belakangku.
“OMG! RPatz!!” teriaknya histeris,
beberapa cewek di sekitarku juga ikutan histeris. Aku menoleh ke belakang dan
langsung tersentak mendapati seseorang dengan penampilan ala model iklan Biore
Men berdiri tepat di belakangku. Dia tersenyum dan yah, wajahnya sedikit
mengingatkanku akan Robert Pattinson, vampire kece di film Twilight.
“Audy Nagisa?” tanyanya dengan
logat Amerika. Anggap saja begitu karena logatnya bener-bener nggak Indonesia
banget ditambah penampilannya yang mirip aktor Hollywood.
“Siapa ya?” tanyaku bingung. Missy
sibuk menyikutku, memberi kode.
Cowok asing itu lagi-lagi
tersenyum. Beberapa cewek pun lagi-lagi histeris.
“Namaku Raymond. Raymond Walker.
Tetangga flat sebelah Rex Rashad. Nice to
meet you.”
Oke, jadi namanya Raymond Walker.
Tetangganya Rex di Amerika. Dan dia bisa bicara bahasa Indonesia? How great!!
Ada banyak pertanyaan di kepalaku
tapi yang keluar malah…
“Rex?”
Raymond menaikkan sebelah alisnya.
Cewek-cewek kembali menjerit. Astaga! Bisakah mereka diam dan tidak bertingkah
norak begitu? Aku tahu cowok asing di depanku ini ganteng, tinggi, mirip RPatz
dan sebagainya, tapi sebagai cewek, yang memegang adat ketimuran, aku malu
dengan tingkah mereka.
“Sepertinya Rex tidak bisa pulang
sekarang. Hm, masih banyak tugas yang harus diselesaikannya, you know.”
“Oh…” gumamku kecewa.
Mr. Walker?” tiba-tiba Missy ikut
bersuara. Nadanya terdengar agak sebal karena aku tidak kunjung
memperkenalkannya pada Raymond. Aku sendiri masih bingung dengan suasana ini
dan memilih menyingkir dari percakapan.
“Call me Raymond. Dan, kamu, Nona Cantik, siapa namamu?”
Aku hampir tersedak kuntum bunga
mawar yang sedang kubaui mendengar kalimat gombal itu dari mulut Raymond. Dia
lebih parah dari Romeo—
Seakan dibanjur es, aku segera
menyadari sesuatu. Raymond, Romeo, Rex…
Apa ini? Namanya juga berawalan
huruf R! R5? Initial R?
“Tunggu, tunggu. Apa jangan-jangan…
kamu yang kirim e-mail ke aku belakangan ini?” tanyaku sambil meremas kuntum
mawar tadi tidak sabaran.
“Wah, akhirnya kamu sadar? Aku tahu
alamat e-mailmu dari Rex. Iseng saja kukirim e-mail. Awalnya aku bingung kenapa
kamu langsung menyangka aku Rex, tapi aku diam saja. Kebetulan sekali aku
sedang mendapat jatah libur. Jadi kuputuskan untuk kemari.”
“Dan kenapa bisa ke kampusku?”
“Romeo yang memanduku berdasarkan
instruksi dari Rex. Sudah lama aku mengagumi keindahan Jogja sampai rela
belajar bahasa Indonesia supaya bisa lebih familiar sebelum mendapat kesempatan
ke sini. Siapa sangka kesempatan itu akhirnya tiba. Dan kamu ternyata lebih
cantik dari fotonya.”
Aku mendengarkan kalimat panjang
Raymond dengan pikiran setengah fokus. Menyadari kalau ternyata selama ini aku
salah mengiranya sebagai Rex. Aku terlalu PD dan berbunga-bunga ketika tahu Rex
mengirimiku e-mail. Aku sibuk menganggap cewek-cewek itu bertingkah norak
padahal aku sendiri jauh lebih norak. Perasaanku masih saja dipermainkan oleh
cowok yang usianya lima tahun lebih muda dariku.
“Cowok jahat,” gumamku kesal.
“Pardon?” tanya Raymond tampak tidak mengerti. Baru saja aku mau
menjelaskan bahwa yang kumaksud adalah Rex saat tahu-tahu Romeo menghampiriku
dengan wajah pucat.
“Rex… Rex kecelakaan!”
***
Aku
segera menuju rumah sakit tempat Rex dirawat. Menurut cerita Romeo tadi, taksi
yang ditumpanginya dari bandara mengalami tabrakan beruntun di jalan raya. Beruntungnya
tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan itu. Tapi beberapa kendaraan mengalami
kerusakan dan para penumpang mengalami luka-luka.
Aku membuka pintu kamar Rex sampai
pintu itu menjeblak begitu saja. Untungnya, di kamar yang terdiri dari dua
kasur itu hanya ada Rex sebagai pasiennya. Kulihat Rex sedang duduk tenang
sambil membaca buku di kasurnya. Sebenarnya aku mau mengomelinya dan berkeinginan
kuat melempar buku itu keluar jendela. Tapi hal itu urung kulakukan karena Rex
mendongakkan kepalanya dan terbelalak menatapku.
“Audy?” gumamnya kaget.
Aku tidak tahu lagi seperti apa
rupa wajahku saat itu. Yang aku tahu, hanya suara tangisanku yang mengisi
penjuru ruangan itu. Aku bahkan belum sempat ganti baju dan menghapus makeup-ku.
Rex menungguiku hingga tangisanku
reda tanpa berbuat apa-apa. Aku masih sesenggukan ketika dia menyodorkan tisu
padaku.
“Kamu kenapa kacau begini?”
tanyanya pelan. Membuatku yang meraih tisu dari tangannya langsung menatapnya.
“Kamu pikir gara-gara siapa aku
begini?” tanyaku balik.
“Nggak usah khawatir, aku baik-baik
aja,”
“Badan kamu penuh luka dan kamu
bilang kamu baik-baik aja?” geramku.
“Ini beneran cuma lecet. Aku
dirawat karena asmaku kambuh,”
Aku mendengus sebal.
“Kalau asmamu kambuh, Rex. Itu
berarti ada apa-apa!” seruku menahan amarah.
Rex terdiam agak lama.
“Maaf,” gumamnya terdengar datar. Aku
kembali menatapnya. “Aku… bikin kamu khawatir.”
“Udahlah, aku nggak apa-apa,”
kataku jengah.
“Aku nggak bisa datang tepat waktu.
Pesawatku delay dan begitu tiba di
sini, taksi yang kutumpangi mengalami kecelakaan beruntun. Padahal aku ingin
sekali hadir di acara kelulusanmu.”
“Buat melihat hasil kerja kerasmu
bantuin aku skripsi kan?”
“Buat melihat kamu dandan.”
Aku terdiam mendengar kalimat itu.
Rex sudah mengalihkan pandangannya dengan telinga memerah.
“Tapi sialnya, yang ngelihat justru
si Raymond,” sambungnya, terdengar kesal.
Aku mengulum senyum geli. Di saat
seperti ini, Rex terlihat manis.
“Tapi kan sekarang dandananku belum
dihapus,” bujukku, membuat Rex menoleh padaku.
“Tapi tampangmu horor,” katanya
dengan nada seperti biasa, terdengar menyakitkan.
Melihatku yang diam saja, Rex
kembali bicara.
“Raymond bilang apa aja ke kamu?”
“Cuma perkenalan trus dia bilang
dia yang selama ini ngirimin aku e-mail. Dia bilang tahu alamat e-mailku dari
kamu.”
Rex melebarkan mata sesaat. Mulutnya
mengerucut. Betapa aku kangen wajah cemberutnya.
“Asal tahu aja, aku nggak pernah
cerita apapun tentang kamu ke dia. Waktu itu dia pernah mungut foto kamu yang
nggak sengaja jatuh pas acara nikahan mas Regan, di situ ada sedikit profil
kamu yang aku tulis di belakang foto itu. Mungkin karena itu akhirnya dia tahu
siapa kamu.”
Aku hampir saja bertepuk tangan karena
ini pertama kalinya Rex bicara panjang dengan nada kesal sampai akhir. Seolah-olah
dia menyesal tidak bisa menyelesaikan soal tentang system syaraf manusia.
“Sounds like jealousy,” godaku.
Rex menatapku dengan tatapan yang
rentan mengandung pesonanya, tapi aku juga tidak kuasa menghindar dari tatapan
itu.
“Kamu… nggak usah mikir berlebihan
tentang Raymond. He’s not a part of 4R.
Anggap aja dia turis yang sedang berlibur di sini. Ngerti?”
Aku mengangkat bahu. “Trus kamu
sendiri, kapan kamu mau minta jawabanku? Sekarang kan kamu udah nggak pakai
seragam sekolah lagi,” aku menagih janjinya.
“Buat apa? Aku udah tahu kok
jawabannya.”
“Hah?”
“Tingkahmu selama ini udah cukup
buat ditebak jawabannya. Kamu terlalu transparan.”
Aku refleks menyilangkan kedua
tanganku di depan dada begitu mendengar kata ‘transparan’ tadi, sementara Rex
menatapku dengan bingung.
“Apa?” tanyanya.
“Ke-kePD-an banget sih kamu!”
seruku salah tingkah.
“Memangnya aku salah?”
“Nggak sih.. cuman yahh…”
Aku tidak bisa melanjutkan
kalimatku karena Rex tiba-tiba mengepalkan tinjunya bersiap menjitakku. Mungkin dia greget dengan sikapku. Aku
kaget lalu memejamkan mata saat kepalan tangan itu mendekat ke kepalaku.
Detik berikutnya, aku merasa
rambutku diacak-acak. Aku membuka mata dan hal pertama yang kulihat adalah
wajah tersenyum Rex. Tangannya masih mengacak-acak rambutku sedangkan bibirnya
melengkung ke atas cukup lama.
“Rex, kamu…”
“Masih, dan semakin suka kamu.”
***SELESAI***
150702,
22.22 WIB.
Nampak seperti judul film, Tapi kalu ujen Initial R sedangkan film itu judulnya Initial D hha
BalasHapushihihi.. Iyo eh? Baru inget ado anime yg judulnyo Initial D >.<
HapusAkhirnya ada yg bikin fanfic ttg mereka.. hehehe
BalasHapusAku udah dua kali bikin ff TCOA. Tapi karena aku #TeamRex, jadi AuRex selalu jadi main casts :D
HapusMakasih kunjungannya & salam kenal~