Jumat, 03 Juli 2015

[TCOA’s Fanfiction] Initial R

Author : Tsujana Albarabumulih/Park Sujan
Genre : Slice of Life



Disclaimer : Ide cerita ini aku dapat dari mimpiku (serius!) beberapa hari lalu. Di dalam mimpiku itu, aku mendapat kiriman paket persis paket yang kuterima waktu ikutan PO novel TCOA (The Chronicles of Audy) yang ke tiga. Aku begitu semangat membuka paket itu, dan langsung membolak-balik halamannya. Kubaca sinopsis dan tentang pengarangnya. Tapi sayangnya, aku malah nggak sempat baca isi ceritanya. LOL.

*Seandainya mimpinya bisa berlanjut ya?* *3*

Ada yang pernah bilang kalo mimpi itu adalah keinginan kita yang terpendam. Oh yeah, kali ini aku setuju. Aku bener-bener pengen cerita TCOA buat buku ke empatnya tuntas (makanya itu ya sampe kebawa ke alam mimpi? Duh). Dan tentunya ‘kapal’ AuRex ‘berlayar’. *ujung-ujungnya balik ke couple favoritku dah*.

Oke. Oke. Daripada aku makin banyak ciap-ciap, mending langsung aja ke FF-nya.

Happy reading~ ^^

***

-Sidang skripsinya gimana, Au?-

Sebaris kalimat yang berasal dari sebuah e-mail asing terpampang di layar laptopku (laptop Romeo sebenarnya). Pengirimnya berasal dari alamat initial_rdotxxxdotcom. Aku mengerutkan kening bingung. Kepalaku penuh dengan pertanyaan tentang siapa kira-kira orang ini? Kenapa bisa tahu alamat e-mail-ku? Dan kenapa menanyakan tentang sidang skrip—

AH! Aku ingat. Satu-satunya manusia yang begitu menyukai skripsiku adalah seorang ABG super jenius dan labil bernama Rex Rashad!

Tapi tunggu dulu. Normalnya, Rex tidak akan pernah mengirimiku e-mail, sekalipun itu untuk menanyakan tentang skripsiku. Terus, kenapa tiba-tiba sekarang?

Kugerakkan jari-jariku di keyboard laptop membalas e-mail itu. Ini momen langka! Jarang-jarang Rex rela meluangkan waktu berharganya demi mengirimiku e-mail. Walaupun itu masih tentang skripsi alih-alih bertanya ‘apa kabar’.

-Lho, Rex, tumben kamu kirim e-mail. Emang gak lagi sibuk?
BTW, sidang skripsiku udah kelar dan aku bakal wisuda seminggu lagi. Datang ya~ -
E-mail sent.

Aku menunggu e-mail balasan dari Rex sembari membaca ulang e-mail yang kukirim. Menyuruh Rex datang di saat hari kelulusanku adalah salah satu hal yang mustahil. Dia tidak akan mau meluangkan waktunya terbang dari Amerika ke Indonesia demi melihatku memakai toga. Urusan syaraf-syaraf dan segala hal yang berhubungan dengan neurologi jauh lebih penting baginya.

Aku menghela nafas lalu me-refresh halaman akunku. Satu notifikasi muncul lalu segera kubuka inbox. Ada balasan dari Rex.

-I want to see you.-

Sumpah, aku merinding! Kalimat itu terdengar begitu cheesy untuk diucapkan seorang Rex. Aku sampai tidak mempercayai penglihatanku. Ini kayak bukan Rex. Atau ini memang Rex tapi…

Pikiranku langsung meracau membayangkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana kalau di sana Rex dipaksa teman Amerika-nya menenggak alkohol sehingga tanpa sadar menuliskan e-mail seperti itu. Bisa jadi kan? Rex terlalu stres belajar sehingga berani menyentuh alkohol?

Namun, aku ingat bahwa Rex hanya berteman dengan buku. Pemikiran ini sedikit melegakanku sehingga aku memilih untuk tidak membalas e-mail itu dan malah logout dari akunku. Lagipula aku bingung harus menjawab apa dan juga karena paket modemku sudah sangat sekarat. Mungkin besok akan ada e-mail lain dari Rex yang mengatakan kalau e-mail itu sebenarnya ditujukan untuk Rafael, adik satu-satunya, misalnya? Pokoknya aku masih ragu kalau e-mail itu ditujukan untukku.

***

Graduation Day.

“Audy!”

Aku sedang berkumpul sambil berfoto bersama rekan-rekan seperjuangan dan juga beberapa kenalan selama kuliah saat tiba-tiba suaranya nyaring meneriakkan namaku. Aku menoleh mencari asal suara yang ternyata itu dari kembarannya Megan Fox alias Missy, sahabatku. Dia segera menghambur ke pelukanku.

“Akhirnya lo wisuda juga, Dy,” katanya dengan nada seolah dia ibuku yang sudah lama menantikan hari ini. Dia sendiri belum menyentuh skripsinya, ngomong-ngomong.

“Iya, akhirnya aku bisa meraih gelar yang penuh perjuangan ini,” kataku merasa terharu akan diriku sendiri.

Missy melepaskan pelukannya dan mengamatiku dari atas ke bawah.

“Lo cantik banget sih, Dy. Dandan di mana?” tanyanya karena tidak yakin aku bisa berhias sendirian.

Aku mengedikkan dagu menunjuk ke arah Maura, istri Regan yang sedang ngobrol bersama kedua orangtuaku.

Missy mengikuti arah pandangku dan memperhatikan kelompok kecil itu agak lama.

“Mas Regan, mbak Maura, Romeo, Rafael, nyokap-bokap lo, Ares…”

Aku mengangguk-angguk sambil menunggu Missy melanjutkan kalimatnya.

“Trus, bocah kampret itu mana?”

Bahuku segera melorot. Missy masih saja menggunakan kata ‘bocah kampret’ sebagai pengganti nama Rex yang jelas-jelas tidak kampret. Missy sudah menyuruhku membasmi ‘Pasukan Kupu-kupu yang Bersemayam di Perutku Gara-gara Rex’, tapi aku belum bisa melakukannya. Dan, karena hari ini adalah salah satu momen bahagia dalam hidupku, aku tidak mau merusaknya dengan mendebat Missy tentang Rex.

“Sayang banget dong dia nggak bisa lihat lo tampil cantik gini. Ckckckck~”

“Rex belum bisa pulang,” jawabku kalem, membuat Missy berdecak prihatin. Baru saja dia akan kembali mengkritikku lagi ketika tahu-tahu suaranya seakan nyangkut di tenggorokan. Matanya terbelalak sambil menunjuk arah belakangku.

“OMG! RPatz!!” teriaknya histeris, beberapa cewek di sekitarku juga ikutan histeris. Aku menoleh ke belakang dan langsung tersentak mendapati seseorang dengan penampilan ala model iklan Biore Men berdiri tepat di belakangku. Dia tersenyum dan yah, wajahnya sedikit mengingatkanku akan Robert Pattinson, vampire kece di film Twilight.

“Audy Nagisa?” tanyanya dengan logat Amerika. Anggap saja begitu karena logatnya bener-bener nggak Indonesia banget ditambah penampilannya yang mirip aktor Hollywood.

“Siapa ya?” tanyaku bingung. Missy sibuk menyikutku, memberi kode.

Cowok asing itu lagi-lagi tersenyum. Beberapa cewek pun lagi-lagi histeris.

“Namaku Raymond. Raymond Walker. Tetangga flat sebelah Rex Rashad. Nice to meet you.”

Oke, jadi namanya Raymond Walker. Tetangganya Rex di Amerika. Dan dia bisa bicara bahasa Indonesia? How great!!

Ada banyak pertanyaan di kepalaku tapi yang keluar malah…

“Rex?”

Raymond menaikkan sebelah alisnya. Cewek-cewek kembali menjerit. Astaga! Bisakah mereka diam dan tidak bertingkah norak begitu? Aku tahu cowok asing di depanku ini ganteng, tinggi, mirip RPatz dan sebagainya, tapi sebagai cewek, yang memegang adat ketimuran, aku malu dengan tingkah mereka.

“Sepertinya Rex tidak bisa pulang sekarang. Hm, masih banyak tugas yang harus diselesaikannya, you know.”

“Oh…” gumamku kecewa.

Mr. Walker?” tiba-tiba Missy ikut bersuara. Nadanya terdengar agak sebal karena aku tidak kunjung memperkenalkannya pada Raymond. Aku sendiri masih bingung dengan suasana ini dan memilih menyingkir dari percakapan.

Call me Raymond. Dan, kamu, Nona Cantik, siapa namamu?”

Aku hampir tersedak kuntum bunga mawar yang sedang kubaui mendengar kalimat gombal itu dari mulut Raymond. Dia lebih parah dari Romeo—

Seakan dibanjur es, aku segera menyadari sesuatu. Raymond, Romeo, Rex…

Apa ini? Namanya juga berawalan huruf R! R5? Initial R?

“Tunggu, tunggu. Apa jangan-jangan… kamu yang kirim e-mail ke aku belakangan ini?” tanyaku sambil meremas kuntum mawar tadi tidak sabaran.

“Wah, akhirnya kamu sadar? Aku tahu alamat e-mailmu dari Rex. Iseng saja kukirim e-mail. Awalnya aku bingung kenapa kamu langsung menyangka aku Rex, tapi aku diam saja. Kebetulan sekali aku sedang mendapat jatah libur. Jadi kuputuskan untuk kemari.”

“Dan kenapa bisa ke kampusku?”

“Romeo yang memanduku berdasarkan instruksi dari Rex. Sudah lama aku mengagumi keindahan Jogja sampai rela belajar bahasa Indonesia supaya bisa lebih familiar sebelum mendapat kesempatan ke sini. Siapa sangka kesempatan itu akhirnya tiba. Dan kamu ternyata lebih cantik dari fotonya.”

Aku mendengarkan kalimat panjang Raymond dengan pikiran setengah fokus. Menyadari kalau ternyata selama ini aku salah mengiranya sebagai Rex. Aku terlalu PD dan berbunga-bunga ketika tahu Rex mengirimiku e-mail. Aku sibuk menganggap cewek-cewek itu bertingkah norak padahal aku sendiri jauh lebih norak. Perasaanku masih saja dipermainkan oleh cowok yang usianya lima tahun lebih muda dariku.

“Cowok jahat,” gumamku kesal.

Pardon?” tanya Raymond tampak tidak mengerti. Baru saja aku mau menjelaskan bahwa yang kumaksud adalah Rex saat tahu-tahu Romeo menghampiriku dengan wajah pucat.

“Rex… Rex kecelakaan!”

***

            Aku segera menuju rumah sakit tempat Rex dirawat. Menurut cerita Romeo tadi, taksi yang ditumpanginya dari bandara mengalami tabrakan beruntun di jalan raya. Beruntungnya tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan itu. Tapi beberapa kendaraan mengalami kerusakan dan para penumpang mengalami luka-luka.

Aku membuka pintu kamar Rex sampai pintu itu menjeblak begitu saja. Untungnya, di kamar yang terdiri dari dua kasur itu hanya ada Rex sebagai pasiennya. Kulihat Rex sedang duduk tenang sambil membaca buku di kasurnya. Sebenarnya aku mau mengomelinya dan berkeinginan kuat melempar buku itu keluar jendela. Tapi hal itu urung kulakukan karena Rex mendongakkan kepalanya dan terbelalak menatapku.

“Audy?” gumamnya kaget.

Aku tidak tahu lagi seperti apa rupa wajahku saat itu. Yang aku tahu, hanya suara tangisanku yang mengisi penjuru ruangan itu. Aku bahkan belum sempat ganti baju dan menghapus makeup-ku.

Rex menungguiku hingga tangisanku reda tanpa berbuat apa-apa. Aku masih sesenggukan ketika dia menyodorkan tisu padaku.

“Kamu kenapa kacau begini?” tanyanya pelan. Membuatku yang meraih tisu dari tangannya langsung menatapnya.

“Kamu pikir gara-gara siapa aku begini?” tanyaku balik.

“Nggak usah khawatir, aku baik-baik aja,”

“Badan kamu penuh luka dan kamu bilang kamu baik-baik aja?” geramku.

“Ini beneran cuma lecet. Aku dirawat karena asmaku kambuh,”

Aku mendengus sebal.

“Kalau asmamu kambuh, Rex. Itu berarti ada apa-apa!” seruku menahan amarah.

Rex terdiam agak lama.

“Maaf,” gumamnya terdengar datar. Aku kembali menatapnya. “Aku… bikin kamu khawatir.”

“Udahlah, aku nggak apa-apa,” kataku jengah.

“Aku nggak bisa datang tepat waktu. Pesawatku delay dan begitu tiba di sini, taksi yang kutumpangi mengalami kecelakaan beruntun. Padahal aku ingin sekali hadir di acara kelulusanmu.”

“Buat melihat hasil kerja kerasmu bantuin aku skripsi kan?”

“Buat melihat kamu dandan.”

Aku terdiam mendengar kalimat itu. Rex sudah mengalihkan pandangannya dengan telinga memerah.

“Tapi sialnya, yang ngelihat justru si Raymond,” sambungnya, terdengar kesal.

Aku mengulum senyum geli. Di saat seperti ini, Rex terlihat manis.

“Tapi kan sekarang dandananku belum dihapus,” bujukku, membuat Rex menoleh padaku.

“Tapi tampangmu horor,” katanya dengan nada seperti biasa, terdengar menyakitkan.

Melihatku yang diam saja, Rex kembali bicara.

“Raymond bilang apa aja ke kamu?”

“Cuma perkenalan trus dia bilang dia yang selama ini ngirimin aku e-mail. Dia bilang tahu alamat e-mailku dari kamu.”

Rex melebarkan mata sesaat. Mulutnya mengerucut. Betapa aku kangen wajah cemberutnya.

“Asal tahu aja, aku nggak pernah cerita apapun tentang kamu ke dia. Waktu itu dia pernah mungut foto kamu yang nggak sengaja jatuh pas acara nikahan mas Regan, di situ ada sedikit profil kamu yang aku tulis di belakang foto itu. Mungkin karena itu akhirnya dia tahu siapa kamu.”

Aku hampir saja bertepuk tangan karena ini pertama kalinya Rex bicara panjang dengan nada kesal sampai akhir. Seolah-olah dia menyesal tidak bisa menyelesaikan soal tentang system syaraf manusia.

Sounds like jealousy,” godaku.

Rex menatapku dengan tatapan yang rentan mengandung pesonanya, tapi aku juga tidak kuasa menghindar dari tatapan itu.

“Kamu… nggak usah mikir berlebihan tentang Raymond. He’s not a part of 4R. Anggap aja dia turis yang sedang berlibur di sini. Ngerti?”

Aku mengangkat bahu. “Trus kamu sendiri, kapan kamu mau minta jawabanku? Sekarang kan kamu udah nggak pakai seragam sekolah lagi,” aku menagih janjinya.

“Buat apa? Aku udah tahu kok jawabannya.”

“Hah?”

“Tingkahmu selama ini udah cukup buat ditebak jawabannya. Kamu terlalu transparan.”

Aku refleks menyilangkan kedua tanganku di depan dada begitu mendengar kata ‘transparan’ tadi, sementara Rex menatapku dengan bingung.

“Apa?” tanyanya.

“Ke-kePD-an banget sih kamu!” seruku salah tingkah.

“Memangnya aku salah?”

“Nggak sih.. cuman yahh…”

Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku karena Rex tiba-tiba mengepalkan tinjunya bersiap menjitakku. Mungkin dia greget dengan sikapku. Aku kaget lalu memejamkan mata saat kepalan tangan itu mendekat ke kepalaku.

Detik berikutnya, aku merasa rambutku diacak-acak. Aku membuka mata dan hal pertama yang kulihat adalah wajah tersenyum Rex. Tangannya masih mengacak-acak rambutku sedangkan bibirnya melengkung ke atas cukup lama.

“Rex, kamu…”

“Masih, dan semakin suka kamu.”

***SELESAI***

150702, 22.22 WIB.


4 komentar:

  1. Nampak seperti judul film, Tapi kalu ujen Initial R sedangkan film itu judulnya Initial D hha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi.. Iyo eh? Baru inget ado anime yg judulnyo Initial D >.<

      Hapus
  2. Akhirnya ada yg bikin fanfic ttg mereka.. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku udah dua kali bikin ff TCOA. Tapi karena aku #TeamRex, jadi AuRex selalu jadi main casts :D

      Makasih kunjungannya & salam kenal~

      Hapus