Sebuah
kafeteria, Massachusetts, USA.
Saat ini aku sedang
duduk berhadapan dengan Ajeng, sambil memainkan gelas kertas yang masih tersisa
setengah espresso-nya. Ajeng terlihat gelisah, sambil sesekali melirik gelas
yang kupegang dengan tangan kiriku. Bukan, lebih tepatnya melirik sebuah cincin
yang ada di jari manis tangan kiriku. Sudah lumayan lama kami duduk di sini,
tapi tidak satupun dari kami yang berusaha membuka obrolan. Sampai ketika…
“Kamu… yakin dengan pernikahan ini, Rex?” Ucapan ‘Halo,
apa kabar?’ dari seorang Ajeng.
Aku menatapnya datar. “Gak ada yang salah kan?”
Bola mata Ajeng bergerak gelisah. “Ya gak ada sih.
Cuman apa kamu gak mikir kalo kita—maksudku kamu masih terlalu muda untuk
sebuah pernikahan?”
“Umurku udah 19 tahun, beberapa bukan lagi bakal 20
tahun. Secara hukum agama dan negara, usiaku udah legal buat nikah.”
Ajeng terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk-angguk
lemah. “Ternyata kamu memang serius ya dengan mbak Audy,”
Itu sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Dan aku
yakin aku tidak perlu menjawabnya.
“Kupikir… karena selama ini kamu selalu membantuku,
setidaknya… kupikir kamu masih ngasih harapan buatku,’” gumam Ajeng, membuatku
mendadak teringat perkataan Audy beberapa waktu lalu. Tentang sikapku yang bisa
saja disalah-artikan Ajeng.
“Kamu selalu sedia bantuin aku di sekolah, saat
ngereview lamaranku buat masuk MIT…”
“Aku ngelakuin itu karena kita teman sekelas.” tandasku.
Ajeng sedikit tersentak. Lalu dia menghela nafas
berat dan tersenyum sedikit. “Begitu ya. Jadi selama ini kamu memang gak pernah
nganggep keberadaanku ya?”
“Selama ini kan kamu terlihat, gimana mungkin aku
gak tahu keberadaanmu.” Aku tahu bukan itu yang dia maksud, tapi aku sudah
sangat lelah dengan semua ini.
Setelah agak ragu sesaat, Ajeng akhirnya memutuskan
untuk beranjak dari kursinya. “Yah, karena gak ada lagi yang perlu aku omongin,
kayaknya aku pamit duluan deh.” Ajeng memaksakan senyum, sebelum berbalik, dia
menyentuh pelan bahuku, “Selamat ya, Rex. Semoga kamu bahagia.”
Aku mengamati sesaat punggung Ajeng yang berjalan
dengan tergesa-gesa. Lalu mengalihkan perhatianku ke benda putih berkilauan
yang melingkar di jari manis tangan kiriku. Aku tersenyum mengingat kejadian
beberapa bulan lalu.
Flashback
Aku, Audy dan Rafael berkunjung ke rumah Audy di
Serang, Banten. Ayah dan ibu Audy terlihat kaget dengan kedatangan kami yang
tiba-tiba. Maksud kedatangan kami adalah untuk mengabarkan tentang rencana
pernikahanku dan Audy.
Sementara Audy dan kedua orangtuanya tampak
berdiskusi di ruangan lain, aku mengamati keadaan rumah Audy. Rumah yang
sederhana namun terasa hangat. Kuamati Rafael yang sibuk mengajari Aries,
adiknya Audy menyelesaikan rubik 4x4. Lalu tersenyum.
Begitu Audy dan kedua orangtuanya kembali ke ruang
tamu dan duduk berhadapan denganku, ibu Audy mulai membuka suara.
“Jujur… tante kaget banget waktu tahu kalo selama
ini kalian…anu… itu…”
“Pacaran.” timpal Aries yang ternyata menguping
pembicaraan kami.
“Iya gitu. Karena selama ini tante mikirnya Audy
pacarannya sama masmu itu lho, si Romeo.”
Audy menyikut pelan lengan ibunya. “Bu, ngomong apa
sih?”
“Bukannya mau maksud apa-apa, tapi setahu ibu Romeo
itu yang seumuran sama Audy, ibu juga lihat mereka berdua ini kayaknya kompak
banget, makanya…” melihat perubahan di raut mukaku, ibu Audy cepat-cepat
menambahkan, “Bukan berarti tante gak setuju lho, Rex. Kamu juga gak kalah
ganteng, pinter dan keren dari Romeo. Iya kan, Pak?”
Ayah Audy mengernyitkan dahinya, lalu mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil kedua tangan disilangkan di depan dada.
“Kami sih terserah Audy. Kalo emang dia udah yakin,
kami juga ngerestuinnya. Tapi… apa kamu gak ngerasa kalo ini kecepetan, Rex?”
Aku menggeleng sambil tersenyum. “Saya bahkan sudah
memikirkan baik-baik rencana saya ini sejak lulus SMA dua tahun lalu.”
“Wahhh~” ibu Audy bertepuk tangan. “Tapi… bukan
karena ‘kecelakaan’ kan?”
“IBU!” lagi-lagi Audy menyikut lengan ibunya. “Gak
mungkin lah.”
Aku memaklumi pertanyaan ibu Audy. Tidak terhitung
sudah berapa banyak kasus pernikahan dini akibat ‘kecelakaan’ seperti itu. Tapi
selama ini aku bahkan tidak berani secara sengaja memegang tangan Audy. Apalagi
kami lebih sering berhubungan jarak jauh, Massachusetts-Jogja.
“Maafin perkataan istri saya ya, Rex. Tapi kami
hanya ingin memastikan bahwa rencana ini memang rencana suci kalian berdua. Apalagi
Audy adalah anak perempuan kami satu-satunya, anak tertua lagi. Jadi kami hanya
ingin yang terbaik untuk dia.”
“Saya mengerti, Om.”
“Kalo dipikir-pikir, umur kamu sekarang 19 dan Audy
24. Masih muda banget ya?” gumam ibu Audy.
“Di desa kita mah, umur kayak Audy udah punya anak
tiga. Audy tuh perawan tua.” celetuk Aries yang segera mendapat lemparan bantal
sofa dari kakaknya.
Flashback
ends
***
Boston
Hotel, Massachusetts, USA.
Beberapa
bulan kemudian.
Aku sedang duduk di pinggiran kasur ukuran King Size
di sebuah kamar hotel yang kami sewa. Membaca referensi bahan kuliahku. Di sampingku,
Audy sedang membersihkan makeup-nya
setelah seharian tampil dengan riasan hasil kreasi Missy (dia sedang berlibur
di kota ini juga).
“Duh!” keluh Audy tiba-tiba.
Aku menoleh cemas, kutaruh laptopku di kasur. “Ada
apa?” tanyaku.
“Mataku kelilipan nih. Sialan si Missy maksa-maksa
nyuruh aku pake bulu mata palsu segala lagi.”
Kutangkup kedua pipi Audy, “Sini kutiup—“
Audy refleks menjauh. “Gak usah, “ lalu kulihat
wajahnya memerah.
Aku mendesah, “We
are getting married now.” kataku mengingatkan.
Aku menatapku dengan kedua mata bulatnya. Mungkin dia
baru saja sadar bahwa saat ini kami sudah menikah dan sedang menikmati bulan
madu.
“Maaf, Rex.” Gumamnya sambil menunduk. Aku tidak
tahan untuk tersenyum melihat tingkahnya yang seperti itu. “Tapi kayaknya udah
gak perih lagi kok matanya.”
Aku menelengkan kepala, “Mana coba sini kuperiksa,”
kataku kembali menangkupkan kedua pipinya lalu CUP.
Audy membeku.
Aku tersenyum lebar.
“Rex… barusan kamu… nyium dahi aku?”
Aku mengedikkan dagu, lalu menatap dalam kedua mata
Audy. “Kamu tahu gak, sebenarnya sudah sejak lama aku pengin ngelakuin hal ini
ke kamu.”
Audy mengerjapkan matanya seperti tidak percaya. Lalu
dia tersenyum manis. Senyum khas Audy yang hanya ditujukan untukku seorang.
Saat itu juga paru-paruku seperti dipenuhi oksigen. Aku
bahagia.
***THE
END***
Prabumulih,
2016-06-13
Ujen/박수잔
buat lagi dong!!
BalasHapusbagus lho!
Wah makasih kalo kamu suka. Aku masih gk bisa move on dari couple ini. Btw aku udah pernah buat ff mereka 3 kali. Silakan liat tag TCOA-nya ^^
Hapusohhh iyaaa
Hapustapi maksudnya maunya cerita mereka abis O2 gituuuu haha
btw Rex-nya kalo bisa dibuat agak 'sedikit' lebih dingin lagi biar lebih real kyk buatan Orizuka! tapi tetep suka kok!
Haha, kalo gitu, aku coba mikir idenya dulu ya. Mauku sih emang Rex-nya tetep cool gitu kyk di novel, tapi mandek di ending, jadi gitu deh jadinya ><
Hapus